Tuesday, January 28, 2014

CEO Razer kepada pelajar: membuang waktu dan mendapat nilai jelek itu tidak apa-apa



Tan Min-Liang, CEO kelahiran Singapura dan creative director di perusahaan perangkat game Razer, tampak seperti Steve Jobs “mini”.

Selain menggunakan baju hitam, celana jeans biru dan sepatu kets yang khas dari Steve Jobs, Tan juga memiliki obsesi yang sama: desain produk dan gadget premium berkualitas tinggi.

Dulunya mahasiswa hukum di National University of Singapore, Tan berubah dari seorang pengacara menjadi kepala perusahaan yang bermarkas di California dan mempekerjakan 500 orang di 10 kota. Ketika orang-orang startup berkumpul dan bertanya mengenai entrepreneur hebat, namanya sering disebut.

Tan punya kharisma panggung yang kuat, dan itu sangat terlihat ketika ia berbicara dengan suara baritonnya di depan sejumlah pelajar National University of Singapore (NUS) bulan Agustus lalu. Berikut adalah beberapa hal yang ia bagikan.



1. Membuang waktu itu tidak apa-apa
Hobi bermain game tidak selalu dipandang positif. Tan selalu menerima komentar bahwa bermain game komputer adalah sesuatu yang buruk dan merupakan aktivitas yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Ternyata hobinya malah menjadi aset paling berharga yang ia miliki. Ia mengatakan:

Tiap saya membuang waktu, saya belajar sesuatu, melakukan sesuatu yang sangat konstruktif untuk masa depan.
2. Mendapat nilai jelek itu tidak apa-apa
Tan mengamati bahwa orang-orang bisa terlalu memperhatikan hasil dan ukuran angka. Di sekolah, pelajar diharuskan lulus ujian, dan kegagalan akan menghancurkan hidup mereka.

Tapi dalam sudut pandang yang lebih luas, tidak ada yang peduli, terutama ketika Anda mendapat nilai jelek di pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang Anda inginkan.

Tan membawa sikap ini ke Razer, dimana mereka sering merancang produk yang gila meskipun berpeluang gagal. Perusahaan ini masuk ke bisnis laptop karena Tan tidak bisa mendapatkan laptop game yang bagus untuk dirinya sendiri.

Secara bisnis, keputusan itu tidak masuk akal, dan mereka kehilangan banyak uang tiap kali menjual laptop game tersebut.

Kondisinya mencapai titik dimana jika ini gagal, maka perusahaan ini akan bangkrut. Tapi kami terus maju karena ini menyenangkan.
Setelah terus maju dan memperbaiki diri, Laptop Razer menjadi lebih baik, dan versi terbarunya menuai respon positif.

3. Jangan bekerja terlalu keras
“Saya adalah salah satu orang termalas dimanapun saya berada,” katanya. Di NUS, ia bermalas-malasan pada pelajaran yang tidak ia minati. Ia menyadari bahwa jika Anda kesulitan untuk bekerja keras, berarti Anda antara tidak menyukai pekerjaan itu, atau Anda memang tidak begitu mampu melakukannya.

Tan suka menghabiskan waktunya mendesain produk, mencari warna, angle, dan akurasi yang sempurna dari kreasinya. Ia menganggap itu sebagai bersenang-senang, bukan pekerjaan.

Meskipun CEO harus memelihara berbagai aspek perusahaan yang tidak disukainya, dari posisi yang sama ia juga bisa merekrut orang untuk melakukan hal yang tidak diminatinya.

Tan memastikan bahwa perusahaannya merekrut tiap orang di posisi dan peran yang pantas. Tidak semua orang terlahir sebagai founder atau manager; mungkin ada beberapa teknisi yang memang ingin berfokus pada peran yang teknis, dan Razer mencoba memfasilitasi itu.

Beberapa teknisi atau pengacara berbakat bisa bekerja dengan baik di laboratorium bawah tanah. Mereka juga sangat cerdas.

id.techinasia.com

Baca Selengkapnya..

STARTUP ITU APA SIH?



Mendefinisikan start-up sering kali menjadi hal yang sangat sulit. “Lha gimana mau bisa mendefinisikan wong artinya aja masih ga ngerti.” Kira-kira begitulah ucapan sebagian besar pemuda-pemudi Jogja yang sempat saya tanyai beberapa hari ini. Rupanya, istilah ini belum cukup populer dikalangan pemuda-pemudi Jogja.

Menurut Andin Rahmana (@andinrahmana), seorang pemuda yang sedang berkuliah di Jogja dan mengaku sebagai tenaga kerja digital, Startup adalah perusahaan baru yang biasanya bergerak di bidang teknologi informasi dan menggunakan media internet sebagai platform nya. Perusahaan ini menghasilkan produk-produk digital (seperti aplikasi web atau layanan melalui website) dan biasanya isu produknya berhubungan dengan permasalahan sehari-hari. Karena spesifikasi teknologi informasi ini lah kemudian istilah bisnis start-up sering di identikan dengan pekerjaan bagi tech savvy. Padahal, untuk membuat sebuah bisnis start-up seseorang tidak harus memiliki background sebagai tech savvy asalkan memiliki ide yang out of the box. Sebagai ilustrasi, ide merupakan bahan pokok bagi sebuah bisnis startup, namun bahan pokok tersebut tidak akan menjadi bisnis startup apabila tidak diolah sedemikian rupa dan dimasak hingga matang, dari sini dibutuhkan tenaga ahli seperti tech savvy.





Pada dasarnya, membuat startup merupakan hal yang mudah bagi mahasiswa. Kenapa? Selain masih memiliki kreativitas, semangat, dan idealisme, mahasiswa juga masih memiliki kebebasan dan tidak memiliki tuntutan untuk mendapatkan uang dengan cepat. Mahasiswa masih memiliki umur yang panjang, sehingga apabila bisnis tersebut mengalami kegagalan mahasiswa masih memiliki semangat untuk belajar dan mencoba lagi hingga berhasil. Selain itu, mahasiswa masih bebas meng-explore dunia ini, apabila kita mulai mengelola bisnis start-up dari sekarang, 2 – 3 tahun kemudian, umur kita sudah matang untuk mengolahnya lebih serius.

Yang perlu dilakukan untuk memulai bisnis startup adalah ciptakan ide-ide brilian kalian, realisasikan, dan bekerjasamalah dengan teman-temanmu untuk menciptakan bisnis tersebut. Hal yang penting juga, jangan lupa untuk memanfaatkan kemudahaan teknologi di era ini dan jangan takut untuk gagal seperti kata Steve Jobs, “Let’s go invent tomorrow, rather than worrying about what happened yesterday” jadi jangan takut gagal dan mencoba lagi. Tertarik untuk berbisnis startup?

APA JENIS STARTUPMU?


Konsumen digital di Indonesia yang makin luas juga membuat banyaknya muncul start up-start up baru di Indonesia. Start up makin lama juga makin beragam dan menjangkau hampir semua aspek kehidupan dan semua kalangan.



Bagi ibu-ibu yang suka belanja barang-barang kebutuhan rumah, ada start up jenis Daily deals and Group commerce yang siap memudahkan belanja. Contohnya adalah melalui LivingSocial dan Groupon. Bagi anak muda yang sangat suka bermain game di handphone, Rovio dan Zynga menjadi start up jenis Mobile gaming yang memfasilitasi kesukaan anak muda itu. Serta masih ada banyak jenis start up lain yang sudah ada dan masih bisa dikembangkan.

Daftar jenis-jenis start up yang bisa dikembangkan di Indonesia:
1. Photo Sharing: Instagram, Piictu, Pinterest, Sicerely.
2. Social Commerce: Storenvy, Goodsie, Magento.go.
3. Micro hiring: Zaarlu, Fiverr, Craigslist, TaskRabbit.
4. Mobile payments: Google Wallet, Giftly, Square, Intuit, Mobile Card.
5. Education, Teaching, Blackboard killers: Skillshare, TutorSpree, Hoot.me, Coursekit, Coursehorse.
6. Music Sharing: Spotify, Rdio, MOG, Turntable.fm.
7. Last minute bookings: Hotel Tonight, Lifebooker, Savored, ZocDoc.
8. Monthly deliveries: GuyHaus, ManPacsk,m FreshDirect, ShoeDazzle.
9. Video job interviews: Ovia, Skype, Google Hangouts.
10. Making technical things easy for non-techies: Onswipe, Goodsie, Flotype, Onepager.
11. Social eReading experiences: Copia, AppAddictive, BookTracks.
12. Renting everything: GetArround, Airbnb, Liquid Space.
13. Mobile gaming: Rovio, Zynga, Lima Sky.
14. Daily deals and Group commerce: LivingSocial, Groupon, SignPost, Group Commerce.
15. Online dating: JDate, Match, OkCupid.
16. Social travel and events: Soonar, Nextstop, SpotOn.
17. Social news recommendation: Meebo, Twitter, Shelby.
18. Flash Sales: HauteLook, Ideeli, Gilt Groupe.
19. Social Networks for groups: Path, Facebook Page, Kohort.
20. Check-ins: Foursquare, MyTown, Gowala.

Tertarik untuk membangun sebuah start up? Apa jenis start up mu?

MELIHAT LAGI PERKEMBANGAN STARTUP DI INDONESIA

Perkembangan startup di Indonesia saat ini sangat pesat dan dinamis. Ide yang dihadirkan juga sangat beragam, kreatif, dan berkualitas. Hal ini dikarenakan informasi dan aktivitas terkait dengan pengembangan startup makin banyak dan mudah diakses.

Menurut Andi S. Boediman, direktur Ideosource, ada dua gelombang startup di Indonesia yang cukup menggembirakan. Gelombang pertama, orang-orang yang tadinya bekerja sebagai profesional di perusahaan besar yang kemudian tidak segan-segan masuk ke dunia startup. Gelombang kedua adalah orang-orang Indonesia yang tadinya bekerja di luar negeri, kembali ke Indonesia untuk membangun startup. “Mereka kembali di Indonesia untuk membangun model kewirausahaannya sendiri. Dua gelombang inilah yang menjadi tanda positif dari startup Indonesia,” kata Andi.



Di Indonesia, ada banyak startup yang founder-nya pernah bekerja di perusahaan Silicon Valley (Amerika Serikat). Salah satunya adalah Bornevia, sebuah startup helpdesk berbasis web yang membantu perusahaan menghadapi kesulitan dalam menangani customer support secara online.

Tim Bornevia menjelaskan bahwa situs ini adalah “sebuah CRM customer support dengan direktori kontak yang terintegrasi dan sistem manajemen tiket.“ Dengan Bornevia, pengguna bisa mengintegrasikan media sosial mereka dengan akun email dan menangani interaksi dengan pelanggan mereka di sana. Dua orang yang berada di balik startup ini adalah Benny Tjia dan Tjiu Suryanto. Benny pernah kuliah di University of Michigan dan Stanford, kemudian bekerja di Yammer sebagai teknisi software, dan kemudian bekerja di Astra Internasional di Jakarta.

Beberapa pengguna beta Bornevia berasal dari Indonesia, India, Afrika Selatan, Kanada, dan Amerika Serikat. Saat ini Bornevia bisa digunakan secara gratis dengan fitur yang terbatas. Tapi mereka akan segera membuka versi unlimited dengan harga USD 12 (Rp 140.000) untuk tiap pengguna per bulan.



Startup Indonesia yang tidak kalah hebatnya adalah PicMix. Sebagai salah satu jejaring sosial di Indonesia, PicMix sudah memiliki 15 juta pengguna di seluruh dunia dan 225 juta foto di-upload di platform-nya. Padahal startup ini baru berusia dua tahun.

Pada tahun 2013, PicMix memiliki 15,5 juta pengguna terdaftar, 900.000 pengguna aktif per hari, dan 48 persen pengguna aktif per bulan. 35 persen pengguna mereka berasal dari Indonesia, dan menariknya diikuti oleh Afrika Selatan dan Venezuela di peringkat kedua dan ketiga. Dulu startup ini juga menerima dana sebesar USD 7 juta dari Erajaya, yang merupakan salah satu distributor handphone terbesar di Indonesia. Kerja sama itu juga membantu perkembangan PicMix, karena Erajaya meng-install PicMix di semua handphone mereka sebelum dijual.

Melihat paparan di atas, rupanya perkembangan bisnis startup di Indonesia sangat pesat dan menjanjikan ya. Sekali lagi nih, tertarik terjun ke dalam bisnis startup?


Baca Selengkapnya..

Monday, August 5, 2013

Printer 3D yang Bisa Merubah Pola Produk Industri Dunia


Printer 3D Wujudkan Imajinasi manusia. Kebutuhan mencetak tak lagi sekadar di atas kertas. Kemajuan teknologi dapat mewujudkan apa yang ada di imajinasi anda ke dalam bentuk yang lebih nyata dan dapat dirasakan melalui sentuhan. Nah, tantangan itu coba dijawab dengan kehadiran printer 3D. Printer 3D adalah proses pembuatan benda padat tiga dimensi dari sebuah desain secara digital menjadi bentuk 3D yang tidak hanya dapat dilihat tapi juga dipegang dan memiliki volume. Printer 3D dicapai dengan menggunakan proses aditif, dimana sebuah obyek dibuat dengan meletakkan lapisan yang berurut dari bahan. Pencetakan 3D merupakan proses yang berbeda dari teknik mesin tradisional (proses subtraktif) yang sebagian besar bergantung pada penghapusan materi oleh pengeboran, pemotongan dan lain–lain.



Printer 3D, Teknologi Paling Menakutkan Dunia
Selasa, 23/07/2013 13:19 WIB

Teknologi printer bukan hanya bisa mencetak tulisan atau gambar di atas kertas. Namun juga dalam bentuk barang melalui printer 3D. Printer 3D pada dasarnya adalah mesin yang mampu membuat obyek solid 3 dimensi dalam berbagai bentuk yang berasal dari model digital. Kini, harga Printer 3D semakin murah dan semakin banyak perusahaan yang membuatnya. Yang menakutkan adalah, printer seperti ini berpotensi digunakan untuk membuat senjata oleh orang biasa.

Dalam berbagai video online, ditunjukkan bagaimana membuat senjata api yang bisa bekerja cukup berbekal printer 3D. Jika dibuat oleh orang yang salah, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
http://inet.detik..com/read/2013/07/...tkani991101105

5 Barang Menakjubkan yang Bisa Dibuat Printer 3D
Sabtu, 25 Mei 2013, 08:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mesin cetak tiga dimensi (3D) sepertinya tak memiliki batas. Dari mengganti komponen yang hilang, mengurangi penggunaan bahan bakar, hingga memastikan Anda tidak memegang iPhone dengan tangan. Berikut beberapa hal menakjubkan yang dapat dibuat oleh printer 3D seperti dikutip Global Post, Sabtu (25/5).

Sepatu


Orang mungkin akan bertanya atau juga tidak, bagaimana Anda mendapatkan sepatu berwarna kuning ini. Tapi, jika memang ada yang bertanya, Anda bisa beri tahu mereka, kalau sepatu itu berasal dari Amsterdam, Belanda. Yaitu buatan desainer Alan Nguyen dari freedom of Creation.

Mobil



Jim Kor dari Winnipeg, Manitoba mengembangkan mobil hemat bahan bakar dari komponen yang dicetak menggunakan mesin cetak 3D. Dikatakan, "Dua orang, berikut dengan seekor anjing, bisa muat di mobil bernama Urbee ini."


Bagian Tubuh Manusia




Di 2012, LayerWise di Belgia menggunakan mesin cetak 3D untuk membuat pengganti rahang bawang dari bahan titanium untuk perempuan Belanda berusia 83 tahun. Sejak itu, mesin cetak 3D digunakan untuk membuat bagian tubuh internal dan eksternal buatan. 

Makanan



NASA memberikan 125 ribu dolas AS kepada peneliti Anjan Contractor dari System Materials Research Corporation untuk mengembangkan mesin cetak makanan 3D. Makanan itu digunakan untuk konsumsi astronot dan mengatasi kelaparan dunia.

Pistol



Sebuah perusahaan bernama Defense Distributed membuat cetak biru pistol yang dicetak dengan printer 3D. Cetak itu pun bahkan diunggah ke internet sehingga bisa diambil oleh siapa pun melalui Pirate Bay.
http://www.republika.co.id/berita/tr...uat-printer-3d


Berhasil dibuat pistol dengan printer 3D
Terbaru 6 Mei 2013 - 21:54 WIB



Pistol dibuat dengan menggunakan mesin cetak 3D seharga US$8.000.

Pistol pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi 3D berhasil ditembakkan di Amerika Serikat. Kelompok kontroversial yang menciptakan senjata api ini, Defense Distributed, berencana mempublikasikan cetak biru senjata di internet. Pembuatan senjata api ini memakan waktu satu tahun dan saat dilakukan uji coba di Austin, Texas, hasilnya tidak mengecewakan.

Teknologi ini bekerja dengan menumpuk berlapis-lapis materi, biasanya plastik, untuk membangun sebuah objek padat yang kompleks. Idenya adalah dengan semakin murahnya harga printer, maka konsumen dapat dengan mudah mengunduh desain dan mencetak benda-benda yang mereka inginkan di rumah, dari pada berbelanja ke toko. Pistol ini dibuat dari mesin cetak 3D seharga US$8.000 (Rp77 juta) yang dibeli di situs lelang eBay.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majal...adimensi.shtml

Keren, Orang Indonesia Bikin "Printer" 3D
Senin, 8 Juli 2013 | 17.16 WIB



JAKARTA, KOMPAS.com — Berawal dari kegemarannya pada dunia desain grafis, Johanes Djauhari kini merakit mesin pencetak (printer) 3D. Dengan memanfaatkan teknologi open source, printer 3D yang dirakit Johanes dapat mencetak dokumen digital menjadi benda tiga dimensi. Johanes bekerja sebagai desainer produk. Beberapa klien yang hendak membuat produk kadang tak puas jika hanya melihat desain tersebut dalam bentuk dokumen digital. Mereka ingin bentuk fisik meski berukuran kecil. "Nah, dari situlah, kenapa tidak saya buat printer 3D sendiri," katanya saat ditemui KompasTekno di acara Popcon Asia 2013 di Jakarta Convention Center, awal Juli lalu. Johanes juga gemar pada mainan (toys). Banyak rekannya yang mendesain karakter toys dan hendak merealisasikan idenya menjadi bentuk nyata. Beberapa dari mereka memakai jasa Johanes untuk cetak 3D.


Johanes mencetak 3D karakter superhero Hebring versi hitam karya Main Studios asal Jakarta

3D printing merupakan proses cetak berlapis untuk membentuk benda padat dengan perspektif 3D yang dapat dipegang dan memiliki volume. Materi yang digunakan adalah plastik, bisa jenis acrylonitrile butadiene styrene (ABS) maupun polylactic acid (PLA). "Kalau saya suka pakai PLA. Dia terbuat dari biji jagung dan bisa terurai. Kalau ABS adalah materi yang dipakai mainan lego, yang terbilang lama terurainya," ujar Johanes.

Proses pencetakan memang terbilang lama. Butuh waktu dua jam untuk mencetak benda 3D dengan dimensi tinggi 10 cm, panjang 5cm, dan lebar 5 cm. Sebenarnya, proses cetak itu bisa dipercepat. Namun, ada beberapa konsekuensi yang harus diterima, di mana bagian dalam obyek menjadi tidak padat alias kopong. Benda yang dicetak dari printer 3D sejauh ini hanya bisa dihasilkan dalam satu warna. "Jika ingin berwarna, kita harus memberi cat secara manual. Materi plastiknya tidak akan rusak jika kena cat," klaim Johanes.


Karakter Minion dalam film animasi Despicable Me dicetak dengan warna kuning dan dibubuhi cat agar karakter tersebut mirip seperti aslinya.

Keseriusan Johanes merakit printer 3D dimulai pada 2011. Ia mendirikan Bikin Bikin 3D Print dan aktif ikut pameran untuk memperkenalkan teknologi ini. Kala itu, desain luar printer buatannya masih berupa kerangka. Setelah melewati beberapa kali pengembangan, kini printer 3D-nya semakin akurat dan didesain menggunakan casing. "Akurasinya sampai 0,2 mm," tutur Johanes.

Akurasi itu dibuktikan dengan mencetak replika arca yang penuh detail dan lekukan. Johanes terlebih dahulu memindai seluruh bagian arca asli yang tersimpan di Museum Nasional. Setelah mendapat file pindainya, mulailah Johanes mendesain 3D lalu mencetak dengan printer buatannya sendiri.


Hasil cetak 3D replika arca yang tersimpan di Museum Nasional

Memanfaatkan "open source"
Dalam mengembangkan printer 3D, Johanes memanfaatkan teknologi open source untuk driver dan software. Ia ikut dalam forum internet yang khusus membahas teknologi printer 3D. "Di forum ini, kita bisa tahu kalau ada algoritma yang lebih baik dan memberi struktur lebih mudah. Bukan cuma soal teknis, dari sana juga kita tahu soal materi yang mudah dicari dan lebih terjangkau," jelasnya.

Untuk mendesain bentuk 3D, Johanes menggunakan software Pronter Face dan Repetier. Komputer yang dipakainya terhubung ke motherboard printer melalui kabel USB. Motherboard inilah yang memerintahkan gerakan koordinat X, Y, dan Z, menerjemahkan dokumen digital menjadi obyek nyata 3D.Printer 3D yang dibuat Johanes masuk dalam tahap pengembangan akhir. Ia membuka pre-order dengan harga Rp 10 juta. Setelah masa pre-order berakhir pada September 2013, printer 3D bakal dibanderol Rp 12 juta. 
http://tekno.kompas.com/read/2013/07...kin.Printer.3D

Dengan Printer 3D, Imajinasi Tersalurkan ...




 .

Sumber

Tags :
Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 15, 2013

GUNDALA PUTERA PETIR: BERLARI 40 TAHUN SECEPAT TOPAN




oleh Surjorimba Suroto. Dipublikasikan di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 22 Februari 2009


Banana Publishing, yang sebelumnya pernah menerbitkan novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur: Jalur Kayu Manis (2007), kembali dengan produk terbarunya. Eendaagsche Exprestreinen membawa misi serupa dengan pendahulunya, mengenalkan sedikit sejarah bangsa Indonesia dalam format gambar dan cerita fiksi. Fokus utamanya adalah perkeretaapian Indonesia awal abad 20, pada masa Hindia Belanda.

Berukuran standar komik Eropa yang besar dan penuh warna, pembaca seakan diajak kembali ke masa kejayaan salah satu kiblat penting dunia komik abad ke-20. Pewarnaan yang lembut namun mudah dibedakan, jumlah halaman yang juga mengikuti lazimnya komik Eropa, hingga gaya ilustrasi yang sepintas sudah bisa ditebak sangat terinspirasi begawan komik asal Belgia, Herge. Pembaca mungkin masih ingat dengan novel grafis sejenis, Rampokan Jawa (Peter van Dongen, 2005), yang mengambil masa transisi kemerdekaan Indonesia. Bolehlah Eendaagsche Exprestreinen disandingkan dengan Rampokan Jawa dalam satu genre novel grafis.

Penulis utama dibalik Eendaagsche Exprestreinen adalah Risdianto. Dengan skripsinya yang berjudul Kereta Api Surabaya – Pasuruan – Malang 1875-1900, Risdianto lulus di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. ”Skripsi ini bercerita mengenai pembangunan jalur kereta api Surabaya – Pasuruan – Malang tahun 1875 – 1900,” katanya. Dia menjelaskan jalur kereta api ini adalah yang kedua di pulau Jawa setelah jalur Semarang – Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Yang membangun jalur itu perusahaan pemerintah Hindia Belanda, Staatssporwegen. Dalam skripsi ini saya menggambarkan dampak sosial dan ekonomi pada jalur kereta Surabaya – Pasuruan – Malang,” katanya.

Tetapi tema perkeretaapian tidak digunakan sebagai sentral cerita dalam Eendaagsche Exprestreinen. Novel grafis ini menampilkan kisah fiksi detektif yang mengambil tempat di dalam kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Dalam penulisan naskah, Risdianto dibantu oleh Yusi Pareanom.

Walau pada ilustrasi sampul depan tidak mudah ditebak bahwa novel grafis ini berkisah tentang kereta api, halaman pertama sudah memberikan petunjuk jelas. Jadwal perjalanan kereta api, stasiun Beos (kini stasiun Jakarta Kota), dan kedatangan sebuah keluarga di halaman depan stasiun sudah memancing aroma kereta api. Tak lama pembaca dibuat terkagum dengan ilustrasi arsitektur dan interior Stasiun Beos yang tersohor itu. Arsitektur stasiun yang mengagumkan ini dibuat oleh Ghijsels (1882-1947). Dibangun selama dua tahun hingga peresmiannya pada 8 Oktober 1929. Sedikit keindahan karya Ghijsels dapat kita saksikan disini. Sayang peran Stasiun Beos (kini bernama Stasiun Jakarta Kota) sebatas tempat pemberangkatan, hingga primadonna Ghijsels ini tidak sempat dieksplorasi lebih jauh. Semoga di lain kesempatan ada novel grafis dengan fokus lokasi peristiwa di Stasiun Beos.

Suasana jalur kereta api Jakarta-Surabaya dapat disaksikan disini, yang merujuk pada dokumentasi tempo doeloe. Desain lokomotif dan rangkaian kereta dibuat dengan cermat oleh tim ilustrator yang terdiri dari Bondan Winarno, Dhian Prasetya, dan Gede Juliantara.

Selain itu dapat ditemukan juga stasiun kecil, kondisi kecelakaan kereta api, beberapa bangunan gaya art deco, interior lokomotif, hingga kehidupan sosial masyarakat sekitar perlintasan kereta api-tanah pertanian, pasar, pedagang asongan, hingga pemangkas rambut bawah pohon. Semua ada, lengkap dengan dagelan yang seakan menjadi ciri khas novel grafis terbitan Banana Publishing sejak Ekspedisi Kapal Borobudur.

Ingin sedikit mengenal cara kerja kereta api? Ada juga, dan kita dipandu oleh tiga remaja cilik penumpang kereta. Ketiga remaja cilik inilah aktor utama dalam membongkar pencurian permata di atas kereta api. Sinyo (bocah keturunan Belanda), Seta (pribumi), dan A Xiu (putri keturunan Cina). Bertiga mereka menjadi kawan seperjalanan dan bersama-sama mencari dalang pencuri kotak permata milik kakek A Xiu.

Ikutilah petualangan dan cerita detektif bergaya Tintin, walau mungkin tidak sekompleks karakter ciptaan Herge 80 tahun lalu itu. Bertiga mereka selayaknya Lima Sekawan atau Sapta Siaga-nya Enid Blyton menikmati perjalanan kereta api, sambil melacak pencuri permata. Seting pencurian mengambil tempat dan waktu di dalam rangkaian kereta api, walau sesekali bersinggungan dengan lingkungan luar.

Menyatunya sejarah perkeretaapian Indonesia dan kisah detektif berlangsung mulus, walau ada beberapa kekurangan. Elemen suspense dan investigasi kurang mengigit, walau sebenarnya mampu dilakukan ketiga tokoh utama ini. Seandainya saja drama mencekam ala Murder On The Orient Express (karya Agatha Christie yang diadaptasi menjadi novel grafis oleh Francois Riviere, 2007) didapatkan dalam Eendaagsche Exprestreinen. Peran ketiga tokoh cilik ini dapat menjadi lebih menarik dan mengundang decak kagum. Namun apa yang dilakukan ketiga bocah cilik ini sudah cukup baik dan mereka berbagi peran secara berimbang.

Beberapa bumbu cerita juga ada disini, selain suasana kehidupan sosial sekitar lintasan kereta api. Obrolan pro-kemerdekaan tentang perjuangan Soekarno, cinta monyet (atau tepatnya cinta lokal) antara Seta dan A Xiu, buronan polisi yang bersembunyi di kereta api, termasuk gangguan jadwal perjalanan (yang masih terjadi hingga hari ini).

”Kami ingin orang-orang tahu sejarah Indonesia bukan saja dari sejarah tentang peristiwa-peristiwa besar saja. Tetapi yang kecil-kecil itu juga bagian dari sejarah Indonesia. Juga untuk meramaikan perkomikkan Indonesia,” Risdianto menambahkan.

Kehadiran novel grafis dengan sejarah kereta api ini memang menambah warna-warni wajah komik nasional, yang banyak dinilai miskin ide dan variasi. Bukannya tidak mungkin kelak kita akan menemukan lebih banyak lagi komik dan novel grafis semacam ini.

komikindonesia.com

Baca Selengkapnya..

YUK, CURHAT LEWAT GAMBAR!




oleh Ester Sondang dan Henry Ismono
Dipublikasikan pertama kali di Tabloid Nova, edisi 1113, 22-28 Juni 2009

Diary Graphic atau komik curhat memang sudah biasa di luar negeri. Kendati di sini masih tergolong baru, toh, hasil karya dua ibu ini langsung diminati.

Curhat Tita karya Tita Larasati (37), ternyata memberi banyak inspirasi pada pembacanya. Bisa dibilang, Tita adalah salah satu pelopor penulis diary graphic di Indonesia saat ini. Jika orang lain menuliskan kejadian sehari-hari yang dialaminya, Tita memilih media gambar. Ia melukiskan suasana hati, pikiran, bahkan potret dirinya secara apa adanya. Di bukunya, perempuan yang sejak kecil suka menggambar ini melukiskan dirinya sebagai sosok bertubuh tinggi gempal, rambut pendek yang jarang tersisir, kacamata, kemeja flanel kotak-kotak yang tidak terkancing lengkap dengan kaos oblong di dalamnya, plus jins belel. Laiknya sebuah buku harian, Ibu dari Prasidya Dhanurendra Zijlstra (8) dan Syastira Lindri Dwimaharsayani Zijlstra (5) ini menggambar ceritanya dengan alur jelas, seperti komik. “Saya lebih suka menyebutnya diary graphic,” katanya sambil menjelaskan, Asterix, Tintin, dan lainnya, “Jelas disebut komik karena si pembuatnya sadar akan cerita yang dia buat. Si pembuat membuat jalan cerita semenarik mungkin dengan tokoh, lokasi, dan naskah yang sangat terencana. Benar-benar keep the reader on the story.”

Sedangkan, kata Tita lagi, “Yang saya buat, benar-benar apa adanya. Apa yang saya lihat dan amati, itu yang saya gambar. Beda lagi dengan graphic novel yang sekarang juga lagi happening. Itu merupakan novel dalam gambar, sehingga ceritanya lebih padat.”

Tak Yakin Laku

Yang jelas, sejak kecil, Tita sudah menyintai dunia gambar. Ayahnya yang arsitek, selalu membawa buku sketsa dan cat air ke mana-mana. Kebiasaan itulah yang menular ke wanita bernama asli Dwinita Larasati ini.
Begitulah. Lulus dari jurusan Desain Produk ITB, ia memilih melanjutkan kuliah S2 di Design Academy Eindhoven, Belanda, tahun 1998. Di sana pun, ia terus menggambar. Banyak teman kuliahnya yang senang membaca dan selalu menunggu gambar-gambar Tita. “Biasanya, kalau ada teman yang ingin memiliki gambar saya, akan saya kopikan. Jadi, aslinya tetap untuk saya. Sekarang sudah masuk buku sketsa ke-11.”

Dari Eindhoven, Tita lompat ke Amsterdam, mengambil S3 di Delft University of Technology. Nah, tidak jauh dari rumahnya di sana, ada sebuah toko komik terkemuka, Lambiek. Saat Lambiek mengadakan acara Amsterdam 24 hour Comic Day, Tita ikut serta. Tak lama berselang, karyanya terpilih di 24 Hour Comic Highligths di Amerika Serikat.
Ketika kembali ke Tanah Air tahun 2007, istri Sybrand Zijlstra ini dilirik penerbit Cinta Anak Bangsa. “Mereka mau membukukan diary graphic saya. Sempat tak percaya diri mulanya. Apa, ya, ada yang suka dan laku?” kisah dosen ITB ini. Ternyata bukunya, Curhat Tita, laris-manis. “Sekarang sedang menyiapkan terbitan kedua,” ujarnya senang.

Visa Ditolak Lala Malah Berjaya

Karya Tita Larasati rupanya memberikan inspirasi tersendiri pada Sheila Rooswitha (29) alias Lala. Belum lama ini, ia meluncurkan komik curhat berjudul Cerita Si Lala. Sebenarnya, Lala sudah mulai membuat komik curhat tahun 2003 silam. Kala itu, ia sangat kecewa karena gagal melanjutkan studi S2 ke Jerman. “Padahal, semuanya sudah siap. Saya sudah dapat sekolah, tempat tinggal, tingggal mengurus visa,” kisah Lala.

Ia pun kemudian menuangkan unek-uneknya dalam bentuk gambar. “Belasan halaman saya buat. Saya membuatnya dalam diary khusus yang sampai sekarang masih saya simpan,” kata ibu satu anak yang suka menggambar ini. Saat itu, “Enggak terbayang sama sekali, satu saat bisa diterbitkan sebagai buku.”

Kesibukan sebagai pembuat story board artist dan illustrato (karyanya antara lain Arisan (2003), Lovely Luna (2004), dan Cinta Silver (2005) membuatnya sejenak lupa pada komik curhat. Suatu saat, alumni Desain Grafis Universitas Trisakti ini menyaksikan curhat Tita dalam situsnya esduren.multiply.com. “Karya Tita bagus. Wah, ternyata komik curhat sangat seru. Saya pun tergerak bikin lagi,” ujar Lala yang bersama suaminya Fajar membuat foto-foto prapernikahan dalam bentuk gambar.

BUKAN MURAHAN

Berbagai kejadian yang membuatnya sangat berkesan, ia tuangkan dalam goresan yang indah. Misalnya saja saat hamil, piknik ke Jawa Timur bersama keluarga, atau anjing kesayangannya yang lucu. Lala menawarkan kumpulan gambar aneka kejadian ini ke penerbit. Ternyata, penerbit Curhat Anak Bangsa bersedia menerbitkannya. “Penerbit memang mau cari komik jenis ini.”

Lala amat bahagia ketika tahu, karyanya disukai banyak orang. “Kebanyakan kaum perempuan. Ada ibu hamil, ada juga yang baru menikah. Mereka merasa terwakili dalam komik itu. Wah, saya tentu saja sangat senang,” ujar Lala yang melahirkan anak pertama Oktober tahun lalu.

Di sela-sela kesibukannya merawat si buah hati Aradea, Lala rajin menuangkan idenya dalam coretan di kertas. “Sudah banyak goresan yang saya bikin, tinggal nanti menyempurnakannya. Antara lain, tentu saja ketika si buah hati lahir. Senangnya merawat Aradea juga saya tuangkan dalam komik,” kata Lala yang kesukaannya didukung sang suami. “Kebetulan, dia juga penggemar komik dan suka menggambar. Saya sering dapat masukan dari Mas Fajar.”

Kini, bersama suami Lala mengelola Ayla Studio. “Kami jualan jasa bikin ilustrasi. Selama ini, saya sudah menggarap sekian banyak iklan dalam format komik. Misalnya komik pesanan tentang edukasi merawat tanaman,” kata Lala yang amat yakin, komik curhatnya punya segmen tersendiri. “Setidaknya saya ingin menyampaikan, komik bukan bacaan murahan!”





Baca Selengkapnya..

Komik dan Identitas Indonesia



oleh Seno Gumira Ajidarma, dipublikasikan di harian Kompas, Minggu 29 Juli 2012

RA Kosasih, yang meninggal dengan tenang di Rempoa, Tangerang, pada Selasa tanggal 24 Juli 2012 pukul 01.00 dini hari, adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan suatu generasi di kota-kota besar Indonesia, tepatnya antara tahun 1950 dan 1970-an, dalam konteks berkembangnya komik sebagai industri hiburan baru.
Dalam hal Kosasih, disebutkan pembacanya beruntung karena sembari terhibur oleh alur cerita memikat, dengan gambar-gambar yang kini monumental dalam memori-kolektif, ekspresi kemanusiaan seperti Ramayana dan Mahabharata dapat diterima tanpa berkerut kening, tanpa harus kehilangan taraf pencapaian wacananya sama sekali.

Prestasi adaptasi

Dalam komik wayang RA Kosasih, bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih misalnya, dapat segera dirasakan kanak-kanak mana pun yang akan terharu oleh tangis Wibisana, setiap kali saudara-saudara raksasanya gugur, karena pengungkapan titik lemah kesaktian mereka oleh dirinya sendiri; maupun keputusan Karna untuk berperang di pihak Kurawa melawan permintaan Dewi Kunti, ibunya, menghadapi adik-adik kandungnya.

Langkah kebijakan yang dapat menjadi rumit bisa dipahami kanak-kanak yang berkesempatan menilai sendiri pertarungan antara kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Widura, antara kelicinan Kresna dan kejujuran Yudhistira yang membawa malapetaka, ataupun antara kepahlawanan Gatotkaca dan Bhisma, pada dua pihak yang bertentangan, ketika tetap maju menghadapi kematian sebagai bentuk pengabdian.

Dilema kesetiaan Drupadi yang sebetulnya hanya mencintai Arjuna, masalah jender Sihkandi yang bertukar kelamin dengan raksasa, pembutaan diri Gandari atas realitas, tragedi keberanian Pandu yang mati di pangkuan Madrim, konsep the Self Bima yang tidak pernah menyembah; bahkan saat harus mengungkapkan gagasan filosofis Bhagavad-Gita dalam satu jilid khusus, yakni ujaran Kresna ketika Arjuna ragu berperang menghadapi keluarga sendiri, berhasil disampaikan Kosasih secara jernih dan ringan sebagai komik.

Dengan kata lain, Kosasih telah melakukan adaptasi dengan sangat berhasil. Masalahnya, dengan pengertian adaptasi itu, di sebelah manakah kesahihan identitas ”komik Indonesia” yang selalu dilekatkan sebagai jasa kepeloporan Kosasih? Perhatikan dua fakta berikut.

Pertama, komik itu sendiri tidak dikenal Kosasih sebagai ”sesuatu yang Indonesia”. Ketika bekerja sebagai juru gambar Instituut voor Planten ziekten di Bogor, ia melihat dan lantas mempelajarinya dari baris komik (comic strip) asing, seperti serial Flash Gordon, Tarzan, maupun adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly, Jakarta, yang membeli hak ciptanya dari King Features Syndicate, Amerika Serikat. Itu terjadi tahun 1953.

Kedua, komik Ramayana (1955) dan Mahabharata (1957-1959) tidak memainkan peran panakawan, tokoh-tokoh lokal, karena Kosasih sengaja dan memang berniat mengacu pada cerita yang bersumber dari India, yang disebutnya ”tidak pakai fantasi atau tambahan”, seperti tertera dalam halaman pertama komik Mahabharata. Padahal, terbitnya komik wayang sebetulnya adalah reaksi terhadap tuduhan bahwa komik ”tidak berkepribadian nasional”, seperti dilaporkan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Wayang, Siapa Tak Sayang?” (Kompas, 1980).

Indonesia sebagai proses

Dengan hegemoni kebudayaan Amerika Serikat dalam media komiknya, dan kebudayaan India dalam sumber naratifnya, meski acuan Kosasih dalam hal Mahabharata adalah buku Mahabarata tulisan M Saleh (Balai Pustaka, 1949), bagaimanakah caranya komik Kosasih menjadi Indonesia?

Pertama, bahasanya jelas berbahasa Indonesia, dalam pengertian sebagai bahasa yang sedang berjuang membentuk dirinya, ketika wacana wayang hanya dikenal dalam bahasa daerah, terutama Jawa, Bali, dan Sunda, melalui pertunjukan wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang. Faktor ini penting karena dengan begitu wayang lantas dikenal secara nasional tanpa harus mengikuti wayang kulit semalam suntuk dengan bahasa daerah ala dalang, yang bagi kanak-kanak (bahkan juga bagi banyak orang dewasa) secara ironis terasa ”asing”.

Kedua, ikonografi dunia pewayangan dalam komik gubahan Kosasih mengacu pada ikonografi wayang orang atau wayang panggung, yang memang merupakan tontonan populer pada masanya, sebagai pilihan yang lebih komunikatif dibandingkan dengan komik wayang gubahan Sulardi, yang mengacu ikonografi wayang kulit dua dimensional, maupun gubahan Ratmojo yang menjadikan ikonografi wayang kulit itu tiga dimensional. Meski gambarnya realisme tiga dimensional (baca: wacana ”rasional” Barat) yang teracu pada ikonografi wayang orang, justru karena tidak akan pernah bisa terbebas dari ikatan kedaerahan, tertegaskan unikumnya dibandingkan dengan komik mana pun di dunia.

Ketiga, meskipun dimulai dengan semangat setia kepada ”kanda pusaka Hindu”, Kosasih telah melakukan negosiasi alur terhadap babon asalnya, dalam konteks sikapnya sebagai orang Indonesia: (1) Drupadi tidak melakukan poliandri, hanya bermonogami dengan Yudhistira; (2) Gatotkaca tidak berwujud raksasa, bisa terbang, dadanya bertanda bintang, sebagaimana dibawakan penari Wayang Orang Sriwedari kenamaan Rusman; tetapi sebaliknya (3) Sihkandi dipertahankan sebagai pria dan tidak menjadi Srikandi, salah satu istri Arjuna, meski Bhisma tetap tidak sudi melawannya dalam Bharatayudha, dengan alasan ”karena wanita”.

Dengan demikian, perbincangan kasus Kosasih ini dapat dianggap sebagai makna yang ditinggalkan: bahwa pencapaian identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan keberagaman identitas ke dalam dirinya. Identitas sekaligus berarti kebergandaan identitas. Terbukti, keberadaan identitas Indonesia tidak dapat dan tidak perlu mengingkari keberadaan identitas ”non-Indonesia” di dalamnya, seperti ketika komik Kosasih diakui sebagai ”komik Indonesia”.

Sumber : komikindonesia.com
Baca Selengkapnya..

WAYANG ITU KOMIK




oleh: Arswendo Atmowiloto
Dipublikasikan pertama kali di Majalah Tempo, edisi 24-31 Agustus 2009

SEBENARNYA periode komik wayang tak pernah dikenang karena penerbit komik waktu itu menamainya ”komik klasik”. Periode ini ditandai setelah era jenis Sri Asih (tentu bersama Nina, Garuda Putih, Kapten Kilat), superhero yang dianggap kurang nasionalis, mengumbar khayal, dan tuduhan paling aneh: membuat anak-anak malas membaca. Dr Marcel Boneff, pakar komik Indonesia yang selalu jadi rujukan, menggambarkannya sebagai du fruit defendu, buah terlarang. Lebih buruk dari buah simalakama—masih bisa dimakan.

Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.

Sejak 1958 itu, periode yang kita namai komik wayang memberikan warna di antara jenis-jenis yang lain, walau sebenarnya penerbit Keng Po sudah menerbitkan Lahirnya Gatutkaca pada 1954. Sedemikian populernya jenis wayang, sehingga Bahsjar S.J., pelukis dan ilustrator di Medan—kota lain yang memelopori komik Indonesia—juga membuat komik wayang. Komik dari komikus Medan sedikit berbeda dengan perkembangan di Jawa karena biasanya lebih dulu dimuat di harian setempat. Tak mengherankan jika komikus jawara seperti Taguan Hardjo dalam suatu saat mengisi tiga atau empat media setiap harinya.

Komik wayang, juga komik berdasarkan cerita daerah atau legenda, dinilai lebih aman, lebih mendidik, dan yang jelas lebih mengakar. Sehingga tak dikritik, juga tak kena ”bredel”, periode yang terulang keras pada 1966. Karya-karya R.A. Kosasih merajai dalam jumlah dan jilid yang dikeluarkan. Sambung-menyambung menjunjung kisah pewayangan yang tak banyak dikenal masyarakat non-Jawa.

Menurut saya (yang tak usah diturut), ini yang menyebabkan popularitas Mahabharata panjang usia. Generasi nonpribumi—kalau istilah ini boleh dipakai—atau mereka yang hidup di kota besar pada saat itu baru ”melek wayang”. Jumlahnya cukup banyak, satu jilid bisa mencapai 30 ribu eksemplar. Dan bahan baku ceritanya juga bisa diperpanjang. Sebab, setelah kisah Astina, masih berlanjut ke Prabu Parikesit, kemudian ke Prabu Udrayana. Untuk judul terakhir ini, R.A. Kosasih, 30 tahun lalu ketika saya bertemu, membuatnya di atas kertas minyak sebagai pengganti klise, dan dengan demikian ukuran komik nanti setelah terbit berbanding satu-satu. Artinya, garis dan goresannya terlihat sangat tebal.

Namun sebenarnya bukan hanya itu. Kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, Bogor, bahkan Tasikmalaya, juga melahirkan penerbit dan komikus. Yang menarik sekali adalah tidak adanya keseragaman dalam komik wayang. Gaya masing-masing komikus bisa terbedakan. Bahkan juga konsepnya. Ada beberapa komik wayang yang benar-benar memindahkan wayang kulit, dengan segala keruwetan ornamennya. Ada yang mengambil babon—induk cerita—dari yang selama ini dikenali, ada yang membuat varian dari itu atau bahkan banjaran, yang bersifat biografis dari satu tokoh, ada yang menitikberatkan humor punakawan.

Sesungguhnya inilah keunggulan kreatif bentuk komik, tidak ada matinya. Dinamika kreatif membuktikan bahkan sejak awalnya, tanpa patron, tanpa fasilitas tertentu, bisa lahir berkembang membanjiri pasar atau kamar. Ketika jenis Sri Asih tersisih, jenis wayang melenggang. Ketika wayang menghilang, ganti rupa kisah cinta. Yang mengalami pembredelan dan pengawasan yang sama berubah menjadi komik agama, atau bahkan ”komik Pancasila”, dan/atau kisah perjuangan. Dan masyarakat tetap menerima, menunggu, melalui taman bacaan atau yang dikenal dengan ”persewaan buku”. Mata rantai itu telah tercerai-berai, bahkan dari sumber awalnya, dari komikus. Komik luar negeri lebih murah harga satuannya, lebih berlimpah jumlah judulnya, lebih terarah penyebaran dan promosinya.

Namun komik Indonesia sendiri tak pernah kehilangan gairah, walau galau dan lesu darah. Masih selalu ada komik wayang yang diterbitkan dengan desain yang berbeda, dengan berwarna, dengan ”cahaya” dan ”sudut pengambilan” layaknya sebuah film, atau adegan pertarungan ala game.

Komik dan wayang agaknya memang satu. Merupakan bayang-bayang yang diekspresikan kembali dari keberadaan kita. Selama kita masih ada, selama itu pula masih ada bayangan. Dan itu adalah wayang atau komik, atau dua-duanya.

Sumber : komikindonesia.com


Baca Selengkapnya..