Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2011 tercatat 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Jika menggunakan standar Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pengeluaran US$ 2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59 persen atau setengah dari penduduk Indonesia.
Tahun 2011 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga melorot dari posisi peringkat ke-111 dari 182 negara ke posisi 124 dari 187 negara. IPM adalah alat klasifikasi negara menjadi kategori maju, berkembang, atau terbelakang. Dengan cara mengukur tiga indikator suatu negara yaitu, bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi.
Kritik konsepsi pembangunan
Fakta kemiskinan serta penurunan ideks pembangunan manusia Indonesia tentu mengundang tanya bagi proses pembangunan yang selama ini dilakukan negara. Angka kemiskinan setiap tahun berada pada posisi yang hampir sama, bahkan cenderung meningkat. Kalaupun terjadi perubahan jumlah, itu lebih karena ”permainan” ukuran dalam penetapan kategori masyarakat miskin. Bukan karena adanya peningkatan kualitas hidup, akibat intervensi kebijakan pemerintah.
Sebab persoalan kemiskinan ini bisa ditelusuri pada orientasi pembangunan yang selama ini dilakukan. Secara umum, Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menggambarkan bahwa pembangunan yang terjadi di dunia—juga tentu di Indonesia—saat ini cenderung, pertama, jobless growth. Artinya, pembangunan yang ada tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menikmati pekerjaan.
Kedua, ruthless growth. Pembangunan yang ada cenderung membuat kesenjangan kian melebar. Jarak antara yang miskin dan kaya makin lebar. Akses terhadap pendidikan tidak merata. Akses pelayanan kesehatan juga sangat terbatas bagi mereka yang miskin.
Ketiga rootless rowth, pembanguan cenderung abai terhadap pelestarian dan pengembangan budaya lokal atau nasional. Pembangunan cenderung mengarah pada dinamika dan pola tingkah hidup masyarakat global (Barat), sehingga kearifan lokal menjadi diabaikan.
Keempat, voiceless growth. Berbagai konflik sosial bemunculan. Mulai dari yang bernuansa agama, suku, hingga bermotif kepentingan politik dan ekonomi. Konflik muncul sebagai konsekuensi dari pembangunan yang mengesampingkan suara dan kepentingan masyarakat.
Kelima, futures growth. Kerusakan hutan dan lingkungan akibat eksploitasi yang terjadi. Alam dirusak, demi kepentingan pembangunan. Pembalakan liar terus mewabah, akibat perilaku koruptif birokrat, aparat keamanan dan pengusaha ”hitam”.
Pembangunan mengalami pertumbuhan, pembangunan berjalan cepat, tetapi kelompok yang lemah secara sosial, ekonomi dan politik terus terekslusi.
Pola ini telah menuai banyak kritik. Michael Todaro (1997, dalam Suharto), menyatakan kemajuan ekonomi merupakan konsep penting dalam pembangunan, hanya pembangunan bukan semata-mata persoalan ekonomi. Pembangunan harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan kemakmuran manusia secara material dan financial.
Todaro memandang pembangunan merupakan sebuah konsep yang multi-dimensional, yang melibatkan reorientasi dan reorganisasi sistem-sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh dan berkesinambungan. Artinya, disamping peningkatan ekonomi, juga harus diiringi dengan perubahan struktur sosial, kelembagaan dan sikap masyarakat termasuk kebiasaan dan keyakinan.
Selain itu, secara teoritis, pembangunan yang ada juga masih menggunakan pendekatan lama. Pertama, pembangunan (dalam pengentasan kemiskinan) masih cenderung bersifat makro dan banyak mengandalkan generasisasi. Pendekatan masih menggunakan teori besar yang dianggap berlaku umum (grand theori).
Kedua, pendekatan pembangunan yang ada cenderung menggunakan konsep dan model-model yang dirancang di belakang meja. Ketiga, pembangunan sangat bersifat sektoral. Sosial menjadi area tersendiri dalam orientasi pembangunan. Seakan-akan pembangunan bidang lainnya, semisal, politik, ekonomi, perbankan, (dst) lepas dari kaitannya dengan bidang sosial.
Keempat, aktor dalam pembangunan juga cenderung dimonopoli oleh pemerintah. Masyarakat cenderung menjadi obyek pembangunan, sedangkan pemerintah adalah subyek. Kelima, pembangunan juga cenderung mengarahkan dan membentuk masyarakat menjadi homogen.
Gambar 2: Bentuk pemberdayaan
Pendekatan lokalitas
Penelitian oleh SMERU pada Mei 2011 terhadap tiga kelurahan di DKI Jakarta, yakni di Kelurahan Kamal, Kelurahan Penjaringan, dan Kelurahan Kayu Putih, menunjukan ada konteks, serta kerentanan kemiskinan yang berbeda satu sama lainnya.
Masyarakat di Kelurahan Kamal, misalnya, umumnya bekerja di sektor pertanian, dan kerap terkena imbas dari gejolak harga pupuk dan kekeringan. Warga di Kelurahan Kayu Putih sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah dalam soal penertiban pedagang asongan atau pun kaki lima. Sedangkan bagi warga Kelurahan Penjaringan, kehidupan mereka sangat bergantung dengan kagiatan industri di sekitarnya. Mereka sering terkena imbas dari banjir dan jebolnya tanggul, yang berakibat tergangunya aktivitas industri.
Melihat adanya perbedaan kerentanan kemiskinan, semestinya menolong kita, utamanya pemerintah, dalam menentukan jenis intervensi. Pemerintah DKI Jakarta tidak bisa menggunakan satu pendekatan saja dalam penyelesaian masalah kemiskinan, apalagi menyamaratakannya.
Sebagai gambaran, Pemda DKI Jakarta meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Bantuan Biaya Kesehatan, dan PNPM. Tetapi tetap saja, masyarakat miskin di DKI Jakarta terhitung pada Maret 2011 sesuai dengan batasan garis kemiskinan, yakni Rp 355.480 per kapita per bulan, masih ada 363,42 ribu orang (3,75 persen) yang masuk kategori miskin. Bahkan naik sebesar 312,18 ribu orang (3,48 persen) dibandingkan Maret 2010.
Ini hanya membuktikan bahwa pendekatan pembangunan dengan pola lama (bantuan sosial)—dan bukan suatu kebijakan komprehensif guna pembangunan manusia--tidaklah cukup mengangkat sebagian masyarakat kita dari ruang kemiskinan.
Lain konteks lain pula potensi serta kebutuhan bentuk kebijakan pembangunan sosial yang diperlukan. Untuk itu, pendekatan penyelesaian masalah kemiskinan mesti diubah, menjadi lebih kontekstual dan berbasis potensi lokal. Pendekatan ini menjadi penting, mengingat dalam masyarakat bukan saja ada persoalan kemiskinan, tetapi di saat yang sama ada kearifan serta potensi lokal yang menjadi modal atau kekuatan mereka untuk bertahan hidup. Potensi inilah yang harus diberdayakan oleh pemerintah.
Masyarakat di Keluraham Kamal, misalnya, umumnya bekerja di sektor pertanian, dan kerap terkena imbas dari gejolak harga pupuk dan kekeringan. Artinya, sebagai petani, salah satu faktor yang memungkinkan mereka jatuh miskin adalah persoalan harga pupuk. Semakin tinggi harga pupuk, maka ketersediaan sumber daya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain (kesehatan atau pendidikan) akan terganggu. Dan sudah tentu, persoalan harga pupuk tidak bisa diselesaikan dengan memberikan BLT atau pun program Raskin semata. Persoalan keterjangkauan pupuk oleh petani adalah persoalan keberpihakan penetapan harga oleh kebijakan pemerintah terhadap mereka.
Kemiskinan di Kelurahan Kayu Putih juga demikian. Ekonomi masyarakat di sana amat bergantung dengan berdagang asongan. Tetapi, di saat yang sama, muncul kebijakan penertiban oleh Pemda DKI Jakarta. Bagaimana mungkin bisa berjualan secara mapan, jika sewaktu-waktu akan digusur oleh Satuan Pamong Praja? Artinya, kebijakan penertiban tidak bisa serta merta dilakukan, jika tidak ada solusi kebijakan bagi masyarakat untuk berdagang.
Selain penertiban, pemerintah harus melahirkan kebijakan yang memberdayakan serta menjamin bahwa mereka tetap bisa mendapatkan tempat yang baik juga strategis untuk tetap berdagang, sehingga bisa hidup layak bahkan meningkatkan taraf hidupnya untuk keluar dari lumpur kemiskinan.
Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berorientasi pengembangan potensi lokal, serta yang menempatkan masyarakat sebagai subyek. Pembangunan yang mengarah pada pengembangan potensi serta keterlibatan masyarakat secara luas.
Untuk itu, pemerintah harus jeli dan peka untuk melihat potensi lokal, serta keterbukaan bagi keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan pembangunan. Karena hanya dengan keterbukaan serta kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal itulah, kehidupan masyarakat yang terpinggirkan bisa terangkat, serta mampu melepaskan diri dari lumpur kemiskinan.
Sumber
Here ]
Get this widget [
No comments:
Post a Comment