Thursday, August 9, 2012

SAVE ROHINGNYA - Genosida Muslim Rohingnya




Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar.

Pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar membicarakan reformasi politik tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Berdasarkan laporan lembaga indipenden berbasis di Inggris menyebutkan bahwa sejak berlangsungnya konflik 10 s/d 28 Juni 2012 sedikitnya 650 warga etnis Rohingya tewas, disamping itu sekitar 1200 warga dinyatakan hilang dan 50 ribu warga kehilangan tempat tingal (repubika.co.id).
Realitas ini menunjukan pembantaian Muslim Rohingya bukan hanya konflik sektarian semata, namun sudah mengarah pada genosida. Kondisi ini tidak mengherankan sebuah LSM kesehatan asal Prancis Medicines san Frontiers menepatkan Muslim Rohingya salah satu dari 10 etnis di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
Politik Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang digantikan Jendra Ne Win 1962 dengan tidak mengakui keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar. Selama 50 tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran, penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya.
Ironisnya, pemerintah Myanmar telah melakukan pembiaran bahkan cendrung berpihak pada etnis Arakan yang beragama Budha. Disamping itu, reaksi masyarakat internasional pun menganggap Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar menyebabkan lembaga-lembaga internasional, seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.

Diskriminasi Pemerintah
Menurut data resmi pemerintah Myanmar, warga Muslim mencapai 5 persen dari 50 juta total penduduknya. Sebelum dan sesudah Kemerdekaan Myanmar 1960, Umat Islam tersebar di setiap kota. Akibat dari Myanmarnisasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar 1962, menyebabkan umat Islam hanya tersisa di 7 kota Arakan, yaitu: Sittwe, Thandue, Kyaw Taw, Kyaw Pyu, Rathedang, Buthudang, dan Mangdow.
Secara histories Muslim Rohingya yang beragama Islam merupakan keturunan etnis Bangali (Bangladesh), sehingga pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai etnis minoritas. Akibatnya, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dari semua aspek kehidupan. Dimana, kekerasan yang dialami Muslim Rohingya seolah tidak berujung, bahkan etnis Budha Arakan menyebutnya sebagai ‘teroris penjajah’, ikon yang dilebelkan Barat terutama Amerika untuk mengdistorsi Umat Islam dengan kata ‘teroris’.
Keberpihakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Budha Arakan dengan melakukan pembiaran terhadap Muslim Rohingya Hal ini bisa dilihat kasus tanggal 3 Juni 1912, dimana 10 orang Jamaah Tabligh dibunuh dengan kejam. Dimana, kasus yang menimpa Muslim Rohingya tidak dilaporkan oleh media massa lokal maupun internasional secara serius yang mengakibatkan pembantaian terus menerus berlangsung tanpa prikemanusian. Ironisnya lagi, media massa Myanmar yang pro Rakhine melakukan propkasi mengambarkan Muslim Rohingya telah melakukan teror dengan melakukan pembunuhan dan membakaran rumah-rumah etnis Budha Arakan yang mengakibatkan pembantaian secara sadis yang mengarah pada genosida.
Muslim Rohingya merupakan minoritas terbesar dan diakui keberdaannya sebelum dan awal Kemerdekaan Myanmar. Sejalan dengan perkembangan politik, dimana Pemerintah Myanmar menerapkan politik xenophobia dan Myanmarnisasi jumlah Muslim Rohingya mengalami penurunan akibat dari kekerasan yang dialami. Disamping itu, ketidakpastian hidup yang dialami menyebabkan terjadinya eksodus ke luar negeri, menurut Badan Pengungsi PBB ada sekitar 600 000 Muslim Rohingya berada di Arab Saudi, terdapat 500 000 orang di Pakistan, ada 500 000 orang di Bangladesh, dan 30 000 orang di Malaysia.
Pasca kerusuhan 3 Juni, kehidupan Muslim Rohinya sangat memprihatinkan dimana mereka setiap saat dapat menjadi sasaran kekerasan etnis Budha Rekhine yang didukung pasukan ‘keamanan’ Rakhine. Pasca kerusuhan tidak ada penampungan bagi pengungsi Muslim Rohinya. Ironisnya, reaksi internasional terutama negara-negara Barat yang menagungkan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak beraksi.

Reaksi Internasional
Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingya sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya.
Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun. Realitas ini sangat berbeda jika masalah ini terjadi pada warga Yahudi, satu saja menjadi korban maka organisasi intenasional seperti PBB dan negara-negara Barat terutama Amerika akan bereaksi dengan cepat untuk mnghentikan dan mengambil tindakan atas nama HAM. Hal ini membuktikan Barat telah melakukan standar ganda dalam penerapan HAM.
Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida Muslim Rohingya.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar yang telah melakukan pembiaran terhadap pembantaian Muslim Rohinga oleh etnis Budha Arakan. Sikap ini tentunya bertentangan dengan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam pergaulan internasional. Kondisi ini sangat berbeda dengan Pemerintahan Iran yang secara tegas meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk segera meyelesaikan masalah pembantai Muslim Rohinya.
Sikap yang ditunjungkan Pemerintahan Administrasi Susilo Bambang Yudhoyon sangat disayangkan, sebagai negara yang memiliki pengaruh di ASEAN hanya memilih diam dengan dalih ‘ non intervention’ yang merupakan asas yang dipegang teguh negara-negara anggota ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri-negeri masing-masing. Namun, melihat fakta yang ada pembantaian Muslim Rohingya sudah mengarah politik genosida, maka sepatutnya Pemerintahan SBY perlu pro aktif untuk bertindak sebagaimana tuntunan organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk mengutuk keras praktek genosida terhadap Muslim Rohingya.****

Oleh:
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasiona Fisip Unhas

Sumber : Tribun

Related Post | Artikel Terkait



Get this widget [ Here ]

No comments:

Post a Comment