Wednesday, May 15, 2013

GUNDALA PUTERA PETIR: BERLARI 40 TAHUN SECEPAT TOPAN




oleh Surjorimba Suroto. Dipublikasikan di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 22 Februari 2009


Banana Publishing, yang sebelumnya pernah menerbitkan novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur: Jalur Kayu Manis (2007), kembali dengan produk terbarunya. Eendaagsche Exprestreinen membawa misi serupa dengan pendahulunya, mengenalkan sedikit sejarah bangsa Indonesia dalam format gambar dan cerita fiksi. Fokus utamanya adalah perkeretaapian Indonesia awal abad 20, pada masa Hindia Belanda.

Berukuran standar komik Eropa yang besar dan penuh warna, pembaca seakan diajak kembali ke masa kejayaan salah satu kiblat penting dunia komik abad ke-20. Pewarnaan yang lembut namun mudah dibedakan, jumlah halaman yang juga mengikuti lazimnya komik Eropa, hingga gaya ilustrasi yang sepintas sudah bisa ditebak sangat terinspirasi begawan komik asal Belgia, Herge. Pembaca mungkin masih ingat dengan novel grafis sejenis, Rampokan Jawa (Peter van Dongen, 2005), yang mengambil masa transisi kemerdekaan Indonesia. Bolehlah Eendaagsche Exprestreinen disandingkan dengan Rampokan Jawa dalam satu genre novel grafis.

Penulis utama dibalik Eendaagsche Exprestreinen adalah Risdianto. Dengan skripsinya yang berjudul Kereta Api Surabaya – Pasuruan – Malang 1875-1900, Risdianto lulus di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. ”Skripsi ini bercerita mengenai pembangunan jalur kereta api Surabaya – Pasuruan – Malang tahun 1875 – 1900,” katanya. Dia menjelaskan jalur kereta api ini adalah yang kedua di pulau Jawa setelah jalur Semarang – Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Yang membangun jalur itu perusahaan pemerintah Hindia Belanda, Staatssporwegen. Dalam skripsi ini saya menggambarkan dampak sosial dan ekonomi pada jalur kereta Surabaya – Pasuruan – Malang,” katanya.

Tetapi tema perkeretaapian tidak digunakan sebagai sentral cerita dalam Eendaagsche Exprestreinen. Novel grafis ini menampilkan kisah fiksi detektif yang mengambil tempat di dalam kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Dalam penulisan naskah, Risdianto dibantu oleh Yusi Pareanom.

Walau pada ilustrasi sampul depan tidak mudah ditebak bahwa novel grafis ini berkisah tentang kereta api, halaman pertama sudah memberikan petunjuk jelas. Jadwal perjalanan kereta api, stasiun Beos (kini stasiun Jakarta Kota), dan kedatangan sebuah keluarga di halaman depan stasiun sudah memancing aroma kereta api. Tak lama pembaca dibuat terkagum dengan ilustrasi arsitektur dan interior Stasiun Beos yang tersohor itu. Arsitektur stasiun yang mengagumkan ini dibuat oleh Ghijsels (1882-1947). Dibangun selama dua tahun hingga peresmiannya pada 8 Oktober 1929. Sedikit keindahan karya Ghijsels dapat kita saksikan disini. Sayang peran Stasiun Beos (kini bernama Stasiun Jakarta Kota) sebatas tempat pemberangkatan, hingga primadonna Ghijsels ini tidak sempat dieksplorasi lebih jauh. Semoga di lain kesempatan ada novel grafis dengan fokus lokasi peristiwa di Stasiun Beos.

Suasana jalur kereta api Jakarta-Surabaya dapat disaksikan disini, yang merujuk pada dokumentasi tempo doeloe. Desain lokomotif dan rangkaian kereta dibuat dengan cermat oleh tim ilustrator yang terdiri dari Bondan Winarno, Dhian Prasetya, dan Gede Juliantara.

Selain itu dapat ditemukan juga stasiun kecil, kondisi kecelakaan kereta api, beberapa bangunan gaya art deco, interior lokomotif, hingga kehidupan sosial masyarakat sekitar perlintasan kereta api-tanah pertanian, pasar, pedagang asongan, hingga pemangkas rambut bawah pohon. Semua ada, lengkap dengan dagelan yang seakan menjadi ciri khas novel grafis terbitan Banana Publishing sejak Ekspedisi Kapal Borobudur.

Ingin sedikit mengenal cara kerja kereta api? Ada juga, dan kita dipandu oleh tiga remaja cilik penumpang kereta. Ketiga remaja cilik inilah aktor utama dalam membongkar pencurian permata di atas kereta api. Sinyo (bocah keturunan Belanda), Seta (pribumi), dan A Xiu (putri keturunan Cina). Bertiga mereka menjadi kawan seperjalanan dan bersama-sama mencari dalang pencuri kotak permata milik kakek A Xiu.

Ikutilah petualangan dan cerita detektif bergaya Tintin, walau mungkin tidak sekompleks karakter ciptaan Herge 80 tahun lalu itu. Bertiga mereka selayaknya Lima Sekawan atau Sapta Siaga-nya Enid Blyton menikmati perjalanan kereta api, sambil melacak pencuri permata. Seting pencurian mengambil tempat dan waktu di dalam rangkaian kereta api, walau sesekali bersinggungan dengan lingkungan luar.

Menyatunya sejarah perkeretaapian Indonesia dan kisah detektif berlangsung mulus, walau ada beberapa kekurangan. Elemen suspense dan investigasi kurang mengigit, walau sebenarnya mampu dilakukan ketiga tokoh utama ini. Seandainya saja drama mencekam ala Murder On The Orient Express (karya Agatha Christie yang diadaptasi menjadi novel grafis oleh Francois Riviere, 2007) didapatkan dalam Eendaagsche Exprestreinen. Peran ketiga tokoh cilik ini dapat menjadi lebih menarik dan mengundang decak kagum. Namun apa yang dilakukan ketiga bocah cilik ini sudah cukup baik dan mereka berbagi peran secara berimbang.

Beberapa bumbu cerita juga ada disini, selain suasana kehidupan sosial sekitar lintasan kereta api. Obrolan pro-kemerdekaan tentang perjuangan Soekarno, cinta monyet (atau tepatnya cinta lokal) antara Seta dan A Xiu, buronan polisi yang bersembunyi di kereta api, termasuk gangguan jadwal perjalanan (yang masih terjadi hingga hari ini).

”Kami ingin orang-orang tahu sejarah Indonesia bukan saja dari sejarah tentang peristiwa-peristiwa besar saja. Tetapi yang kecil-kecil itu juga bagian dari sejarah Indonesia. Juga untuk meramaikan perkomikkan Indonesia,” Risdianto menambahkan.

Kehadiran novel grafis dengan sejarah kereta api ini memang menambah warna-warni wajah komik nasional, yang banyak dinilai miskin ide dan variasi. Bukannya tidak mungkin kelak kita akan menemukan lebih banyak lagi komik dan novel grafis semacam ini.

komikindonesia.com

Baca Selengkapnya..

YUK, CURHAT LEWAT GAMBAR!




oleh Ester Sondang dan Henry Ismono
Dipublikasikan pertama kali di Tabloid Nova, edisi 1113, 22-28 Juni 2009

Diary Graphic atau komik curhat memang sudah biasa di luar negeri. Kendati di sini masih tergolong baru, toh, hasil karya dua ibu ini langsung diminati.

Curhat Tita karya Tita Larasati (37), ternyata memberi banyak inspirasi pada pembacanya. Bisa dibilang, Tita adalah salah satu pelopor penulis diary graphic di Indonesia saat ini. Jika orang lain menuliskan kejadian sehari-hari yang dialaminya, Tita memilih media gambar. Ia melukiskan suasana hati, pikiran, bahkan potret dirinya secara apa adanya. Di bukunya, perempuan yang sejak kecil suka menggambar ini melukiskan dirinya sebagai sosok bertubuh tinggi gempal, rambut pendek yang jarang tersisir, kacamata, kemeja flanel kotak-kotak yang tidak terkancing lengkap dengan kaos oblong di dalamnya, plus jins belel. Laiknya sebuah buku harian, Ibu dari Prasidya Dhanurendra Zijlstra (8) dan Syastira Lindri Dwimaharsayani Zijlstra (5) ini menggambar ceritanya dengan alur jelas, seperti komik. “Saya lebih suka menyebutnya diary graphic,” katanya sambil menjelaskan, Asterix, Tintin, dan lainnya, “Jelas disebut komik karena si pembuatnya sadar akan cerita yang dia buat. Si pembuat membuat jalan cerita semenarik mungkin dengan tokoh, lokasi, dan naskah yang sangat terencana. Benar-benar keep the reader on the story.”

Sedangkan, kata Tita lagi, “Yang saya buat, benar-benar apa adanya. Apa yang saya lihat dan amati, itu yang saya gambar. Beda lagi dengan graphic novel yang sekarang juga lagi happening. Itu merupakan novel dalam gambar, sehingga ceritanya lebih padat.”

Tak Yakin Laku

Yang jelas, sejak kecil, Tita sudah menyintai dunia gambar. Ayahnya yang arsitek, selalu membawa buku sketsa dan cat air ke mana-mana. Kebiasaan itulah yang menular ke wanita bernama asli Dwinita Larasati ini.
Begitulah. Lulus dari jurusan Desain Produk ITB, ia memilih melanjutkan kuliah S2 di Design Academy Eindhoven, Belanda, tahun 1998. Di sana pun, ia terus menggambar. Banyak teman kuliahnya yang senang membaca dan selalu menunggu gambar-gambar Tita. “Biasanya, kalau ada teman yang ingin memiliki gambar saya, akan saya kopikan. Jadi, aslinya tetap untuk saya. Sekarang sudah masuk buku sketsa ke-11.”

Dari Eindhoven, Tita lompat ke Amsterdam, mengambil S3 di Delft University of Technology. Nah, tidak jauh dari rumahnya di sana, ada sebuah toko komik terkemuka, Lambiek. Saat Lambiek mengadakan acara Amsterdam 24 hour Comic Day, Tita ikut serta. Tak lama berselang, karyanya terpilih di 24 Hour Comic Highligths di Amerika Serikat.
Ketika kembali ke Tanah Air tahun 2007, istri Sybrand Zijlstra ini dilirik penerbit Cinta Anak Bangsa. “Mereka mau membukukan diary graphic saya. Sempat tak percaya diri mulanya. Apa, ya, ada yang suka dan laku?” kisah dosen ITB ini. Ternyata bukunya, Curhat Tita, laris-manis. “Sekarang sedang menyiapkan terbitan kedua,” ujarnya senang.

Visa Ditolak Lala Malah Berjaya

Karya Tita Larasati rupanya memberikan inspirasi tersendiri pada Sheila Rooswitha (29) alias Lala. Belum lama ini, ia meluncurkan komik curhat berjudul Cerita Si Lala. Sebenarnya, Lala sudah mulai membuat komik curhat tahun 2003 silam. Kala itu, ia sangat kecewa karena gagal melanjutkan studi S2 ke Jerman. “Padahal, semuanya sudah siap. Saya sudah dapat sekolah, tempat tinggal, tingggal mengurus visa,” kisah Lala.

Ia pun kemudian menuangkan unek-uneknya dalam bentuk gambar. “Belasan halaman saya buat. Saya membuatnya dalam diary khusus yang sampai sekarang masih saya simpan,” kata ibu satu anak yang suka menggambar ini. Saat itu, “Enggak terbayang sama sekali, satu saat bisa diterbitkan sebagai buku.”

Kesibukan sebagai pembuat story board artist dan illustrato (karyanya antara lain Arisan (2003), Lovely Luna (2004), dan Cinta Silver (2005) membuatnya sejenak lupa pada komik curhat. Suatu saat, alumni Desain Grafis Universitas Trisakti ini menyaksikan curhat Tita dalam situsnya esduren.multiply.com. “Karya Tita bagus. Wah, ternyata komik curhat sangat seru. Saya pun tergerak bikin lagi,” ujar Lala yang bersama suaminya Fajar membuat foto-foto prapernikahan dalam bentuk gambar.

BUKAN MURAHAN

Berbagai kejadian yang membuatnya sangat berkesan, ia tuangkan dalam goresan yang indah. Misalnya saja saat hamil, piknik ke Jawa Timur bersama keluarga, atau anjing kesayangannya yang lucu. Lala menawarkan kumpulan gambar aneka kejadian ini ke penerbit. Ternyata, penerbit Curhat Anak Bangsa bersedia menerbitkannya. “Penerbit memang mau cari komik jenis ini.”

Lala amat bahagia ketika tahu, karyanya disukai banyak orang. “Kebanyakan kaum perempuan. Ada ibu hamil, ada juga yang baru menikah. Mereka merasa terwakili dalam komik itu. Wah, saya tentu saja sangat senang,” ujar Lala yang melahirkan anak pertama Oktober tahun lalu.

Di sela-sela kesibukannya merawat si buah hati Aradea, Lala rajin menuangkan idenya dalam coretan di kertas. “Sudah banyak goresan yang saya bikin, tinggal nanti menyempurnakannya. Antara lain, tentu saja ketika si buah hati lahir. Senangnya merawat Aradea juga saya tuangkan dalam komik,” kata Lala yang kesukaannya didukung sang suami. “Kebetulan, dia juga penggemar komik dan suka menggambar. Saya sering dapat masukan dari Mas Fajar.”

Kini, bersama suami Lala mengelola Ayla Studio. “Kami jualan jasa bikin ilustrasi. Selama ini, saya sudah menggarap sekian banyak iklan dalam format komik. Misalnya komik pesanan tentang edukasi merawat tanaman,” kata Lala yang amat yakin, komik curhatnya punya segmen tersendiri. “Setidaknya saya ingin menyampaikan, komik bukan bacaan murahan!”





Baca Selengkapnya..

Komik dan Identitas Indonesia



oleh Seno Gumira Ajidarma, dipublikasikan di harian Kompas, Minggu 29 Juli 2012

RA Kosasih, yang meninggal dengan tenang di Rempoa, Tangerang, pada Selasa tanggal 24 Juli 2012 pukul 01.00 dini hari, adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan suatu generasi di kota-kota besar Indonesia, tepatnya antara tahun 1950 dan 1970-an, dalam konteks berkembangnya komik sebagai industri hiburan baru.
Dalam hal Kosasih, disebutkan pembacanya beruntung karena sembari terhibur oleh alur cerita memikat, dengan gambar-gambar yang kini monumental dalam memori-kolektif, ekspresi kemanusiaan seperti Ramayana dan Mahabharata dapat diterima tanpa berkerut kening, tanpa harus kehilangan taraf pencapaian wacananya sama sekali.

Prestasi adaptasi

Dalam komik wayang RA Kosasih, bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih misalnya, dapat segera dirasakan kanak-kanak mana pun yang akan terharu oleh tangis Wibisana, setiap kali saudara-saudara raksasanya gugur, karena pengungkapan titik lemah kesaktian mereka oleh dirinya sendiri; maupun keputusan Karna untuk berperang di pihak Kurawa melawan permintaan Dewi Kunti, ibunya, menghadapi adik-adik kandungnya.

Langkah kebijakan yang dapat menjadi rumit bisa dipahami kanak-kanak yang berkesempatan menilai sendiri pertarungan antara kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Widura, antara kelicinan Kresna dan kejujuran Yudhistira yang membawa malapetaka, ataupun antara kepahlawanan Gatotkaca dan Bhisma, pada dua pihak yang bertentangan, ketika tetap maju menghadapi kematian sebagai bentuk pengabdian.

Dilema kesetiaan Drupadi yang sebetulnya hanya mencintai Arjuna, masalah jender Sihkandi yang bertukar kelamin dengan raksasa, pembutaan diri Gandari atas realitas, tragedi keberanian Pandu yang mati di pangkuan Madrim, konsep the Self Bima yang tidak pernah menyembah; bahkan saat harus mengungkapkan gagasan filosofis Bhagavad-Gita dalam satu jilid khusus, yakni ujaran Kresna ketika Arjuna ragu berperang menghadapi keluarga sendiri, berhasil disampaikan Kosasih secara jernih dan ringan sebagai komik.

Dengan kata lain, Kosasih telah melakukan adaptasi dengan sangat berhasil. Masalahnya, dengan pengertian adaptasi itu, di sebelah manakah kesahihan identitas ”komik Indonesia” yang selalu dilekatkan sebagai jasa kepeloporan Kosasih? Perhatikan dua fakta berikut.

Pertama, komik itu sendiri tidak dikenal Kosasih sebagai ”sesuatu yang Indonesia”. Ketika bekerja sebagai juru gambar Instituut voor Planten ziekten di Bogor, ia melihat dan lantas mempelajarinya dari baris komik (comic strip) asing, seperti serial Flash Gordon, Tarzan, maupun adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly, Jakarta, yang membeli hak ciptanya dari King Features Syndicate, Amerika Serikat. Itu terjadi tahun 1953.

Kedua, komik Ramayana (1955) dan Mahabharata (1957-1959) tidak memainkan peran panakawan, tokoh-tokoh lokal, karena Kosasih sengaja dan memang berniat mengacu pada cerita yang bersumber dari India, yang disebutnya ”tidak pakai fantasi atau tambahan”, seperti tertera dalam halaman pertama komik Mahabharata. Padahal, terbitnya komik wayang sebetulnya adalah reaksi terhadap tuduhan bahwa komik ”tidak berkepribadian nasional”, seperti dilaporkan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Wayang, Siapa Tak Sayang?” (Kompas, 1980).

Indonesia sebagai proses

Dengan hegemoni kebudayaan Amerika Serikat dalam media komiknya, dan kebudayaan India dalam sumber naratifnya, meski acuan Kosasih dalam hal Mahabharata adalah buku Mahabarata tulisan M Saleh (Balai Pustaka, 1949), bagaimanakah caranya komik Kosasih menjadi Indonesia?

Pertama, bahasanya jelas berbahasa Indonesia, dalam pengertian sebagai bahasa yang sedang berjuang membentuk dirinya, ketika wacana wayang hanya dikenal dalam bahasa daerah, terutama Jawa, Bali, dan Sunda, melalui pertunjukan wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang. Faktor ini penting karena dengan begitu wayang lantas dikenal secara nasional tanpa harus mengikuti wayang kulit semalam suntuk dengan bahasa daerah ala dalang, yang bagi kanak-kanak (bahkan juga bagi banyak orang dewasa) secara ironis terasa ”asing”.

Kedua, ikonografi dunia pewayangan dalam komik gubahan Kosasih mengacu pada ikonografi wayang orang atau wayang panggung, yang memang merupakan tontonan populer pada masanya, sebagai pilihan yang lebih komunikatif dibandingkan dengan komik wayang gubahan Sulardi, yang mengacu ikonografi wayang kulit dua dimensional, maupun gubahan Ratmojo yang menjadikan ikonografi wayang kulit itu tiga dimensional. Meski gambarnya realisme tiga dimensional (baca: wacana ”rasional” Barat) yang teracu pada ikonografi wayang orang, justru karena tidak akan pernah bisa terbebas dari ikatan kedaerahan, tertegaskan unikumnya dibandingkan dengan komik mana pun di dunia.

Ketiga, meskipun dimulai dengan semangat setia kepada ”kanda pusaka Hindu”, Kosasih telah melakukan negosiasi alur terhadap babon asalnya, dalam konteks sikapnya sebagai orang Indonesia: (1) Drupadi tidak melakukan poliandri, hanya bermonogami dengan Yudhistira; (2) Gatotkaca tidak berwujud raksasa, bisa terbang, dadanya bertanda bintang, sebagaimana dibawakan penari Wayang Orang Sriwedari kenamaan Rusman; tetapi sebaliknya (3) Sihkandi dipertahankan sebagai pria dan tidak menjadi Srikandi, salah satu istri Arjuna, meski Bhisma tetap tidak sudi melawannya dalam Bharatayudha, dengan alasan ”karena wanita”.

Dengan demikian, perbincangan kasus Kosasih ini dapat dianggap sebagai makna yang ditinggalkan: bahwa pencapaian identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan keberagaman identitas ke dalam dirinya. Identitas sekaligus berarti kebergandaan identitas. Terbukti, keberadaan identitas Indonesia tidak dapat dan tidak perlu mengingkari keberadaan identitas ”non-Indonesia” di dalamnya, seperti ketika komik Kosasih diakui sebagai ”komik Indonesia”.

Sumber : komikindonesia.com
Baca Selengkapnya..

WAYANG ITU KOMIK




oleh: Arswendo Atmowiloto
Dipublikasikan pertama kali di Majalah Tempo, edisi 24-31 Agustus 2009

SEBENARNYA periode komik wayang tak pernah dikenang karena penerbit komik waktu itu menamainya ”komik klasik”. Periode ini ditandai setelah era jenis Sri Asih (tentu bersama Nina, Garuda Putih, Kapten Kilat), superhero yang dianggap kurang nasionalis, mengumbar khayal, dan tuduhan paling aneh: membuat anak-anak malas membaca. Dr Marcel Boneff, pakar komik Indonesia yang selalu jadi rujukan, menggambarkannya sebagai du fruit defendu, buah terlarang. Lebih buruk dari buah simalakama—masih bisa dimakan.

Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.

Sejak 1958 itu, periode yang kita namai komik wayang memberikan warna di antara jenis-jenis yang lain, walau sebenarnya penerbit Keng Po sudah menerbitkan Lahirnya Gatutkaca pada 1954. Sedemikian populernya jenis wayang, sehingga Bahsjar S.J., pelukis dan ilustrator di Medan—kota lain yang memelopori komik Indonesia—juga membuat komik wayang. Komik dari komikus Medan sedikit berbeda dengan perkembangan di Jawa karena biasanya lebih dulu dimuat di harian setempat. Tak mengherankan jika komikus jawara seperti Taguan Hardjo dalam suatu saat mengisi tiga atau empat media setiap harinya.

Komik wayang, juga komik berdasarkan cerita daerah atau legenda, dinilai lebih aman, lebih mendidik, dan yang jelas lebih mengakar. Sehingga tak dikritik, juga tak kena ”bredel”, periode yang terulang keras pada 1966. Karya-karya R.A. Kosasih merajai dalam jumlah dan jilid yang dikeluarkan. Sambung-menyambung menjunjung kisah pewayangan yang tak banyak dikenal masyarakat non-Jawa.

Menurut saya (yang tak usah diturut), ini yang menyebabkan popularitas Mahabharata panjang usia. Generasi nonpribumi—kalau istilah ini boleh dipakai—atau mereka yang hidup di kota besar pada saat itu baru ”melek wayang”. Jumlahnya cukup banyak, satu jilid bisa mencapai 30 ribu eksemplar. Dan bahan baku ceritanya juga bisa diperpanjang. Sebab, setelah kisah Astina, masih berlanjut ke Prabu Parikesit, kemudian ke Prabu Udrayana. Untuk judul terakhir ini, R.A. Kosasih, 30 tahun lalu ketika saya bertemu, membuatnya di atas kertas minyak sebagai pengganti klise, dan dengan demikian ukuran komik nanti setelah terbit berbanding satu-satu. Artinya, garis dan goresannya terlihat sangat tebal.

Namun sebenarnya bukan hanya itu. Kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, Bogor, bahkan Tasikmalaya, juga melahirkan penerbit dan komikus. Yang menarik sekali adalah tidak adanya keseragaman dalam komik wayang. Gaya masing-masing komikus bisa terbedakan. Bahkan juga konsepnya. Ada beberapa komik wayang yang benar-benar memindahkan wayang kulit, dengan segala keruwetan ornamennya. Ada yang mengambil babon—induk cerita—dari yang selama ini dikenali, ada yang membuat varian dari itu atau bahkan banjaran, yang bersifat biografis dari satu tokoh, ada yang menitikberatkan humor punakawan.

Sesungguhnya inilah keunggulan kreatif bentuk komik, tidak ada matinya. Dinamika kreatif membuktikan bahkan sejak awalnya, tanpa patron, tanpa fasilitas tertentu, bisa lahir berkembang membanjiri pasar atau kamar. Ketika jenis Sri Asih tersisih, jenis wayang melenggang. Ketika wayang menghilang, ganti rupa kisah cinta. Yang mengalami pembredelan dan pengawasan yang sama berubah menjadi komik agama, atau bahkan ”komik Pancasila”, dan/atau kisah perjuangan. Dan masyarakat tetap menerima, menunggu, melalui taman bacaan atau yang dikenal dengan ”persewaan buku”. Mata rantai itu telah tercerai-berai, bahkan dari sumber awalnya, dari komikus. Komik luar negeri lebih murah harga satuannya, lebih berlimpah jumlah judulnya, lebih terarah penyebaran dan promosinya.

Namun komik Indonesia sendiri tak pernah kehilangan gairah, walau galau dan lesu darah. Masih selalu ada komik wayang yang diterbitkan dengan desain yang berbeda, dengan berwarna, dengan ”cahaya” dan ”sudut pengambilan” layaknya sebuah film, atau adegan pertarungan ala game.

Komik dan wayang agaknya memang satu. Merupakan bayang-bayang yang diekspresikan kembali dari keberadaan kita. Selama kita masih ada, selama itu pula masih ada bayangan. Dan itu adalah wayang atau komik, atau dua-duanya.

Sumber : komikindonesia.com


Baca Selengkapnya..