Monday, August 5, 2013

Printer 3D yang Bisa Merubah Pola Produk Industri Dunia


Printer 3D Wujudkan Imajinasi manusia. Kebutuhan mencetak tak lagi sekadar di atas kertas. Kemajuan teknologi dapat mewujudkan apa yang ada di imajinasi anda ke dalam bentuk yang lebih nyata dan dapat dirasakan melalui sentuhan. Nah, tantangan itu coba dijawab dengan kehadiran printer 3D. Printer 3D adalah proses pembuatan benda padat tiga dimensi dari sebuah desain secara digital menjadi bentuk 3D yang tidak hanya dapat dilihat tapi juga dipegang dan memiliki volume. Printer 3D dicapai dengan menggunakan proses aditif, dimana sebuah obyek dibuat dengan meletakkan lapisan yang berurut dari bahan. Pencetakan 3D merupakan proses yang berbeda dari teknik mesin tradisional (proses subtraktif) yang sebagian besar bergantung pada penghapusan materi oleh pengeboran, pemotongan dan lain–lain.



Printer 3D, Teknologi Paling Menakutkan Dunia
Selasa, 23/07/2013 13:19 WIB

Teknologi printer bukan hanya bisa mencetak tulisan atau gambar di atas kertas. Namun juga dalam bentuk barang melalui printer 3D. Printer 3D pada dasarnya adalah mesin yang mampu membuat obyek solid 3 dimensi dalam berbagai bentuk yang berasal dari model digital. Kini, harga Printer 3D semakin murah dan semakin banyak perusahaan yang membuatnya. Yang menakutkan adalah, printer seperti ini berpotensi digunakan untuk membuat senjata oleh orang biasa.

Dalam berbagai video online, ditunjukkan bagaimana membuat senjata api yang bisa bekerja cukup berbekal printer 3D. Jika dibuat oleh orang yang salah, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
http://inet.detik..com/read/2013/07/...tkani991101105

5 Barang Menakjubkan yang Bisa Dibuat Printer 3D
Sabtu, 25 Mei 2013, 08:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mesin cetak tiga dimensi (3D) sepertinya tak memiliki batas. Dari mengganti komponen yang hilang, mengurangi penggunaan bahan bakar, hingga memastikan Anda tidak memegang iPhone dengan tangan. Berikut beberapa hal menakjubkan yang dapat dibuat oleh printer 3D seperti dikutip Global Post, Sabtu (25/5).

Sepatu


Orang mungkin akan bertanya atau juga tidak, bagaimana Anda mendapatkan sepatu berwarna kuning ini. Tapi, jika memang ada yang bertanya, Anda bisa beri tahu mereka, kalau sepatu itu berasal dari Amsterdam, Belanda. Yaitu buatan desainer Alan Nguyen dari freedom of Creation.

Mobil



Jim Kor dari Winnipeg, Manitoba mengembangkan mobil hemat bahan bakar dari komponen yang dicetak menggunakan mesin cetak 3D. Dikatakan, "Dua orang, berikut dengan seekor anjing, bisa muat di mobil bernama Urbee ini."


Bagian Tubuh Manusia




Di 2012, LayerWise di Belgia menggunakan mesin cetak 3D untuk membuat pengganti rahang bawang dari bahan titanium untuk perempuan Belanda berusia 83 tahun. Sejak itu, mesin cetak 3D digunakan untuk membuat bagian tubuh internal dan eksternal buatan. 

Makanan



NASA memberikan 125 ribu dolas AS kepada peneliti Anjan Contractor dari System Materials Research Corporation untuk mengembangkan mesin cetak makanan 3D. Makanan itu digunakan untuk konsumsi astronot dan mengatasi kelaparan dunia.

Pistol



Sebuah perusahaan bernama Defense Distributed membuat cetak biru pistol yang dicetak dengan printer 3D. Cetak itu pun bahkan diunggah ke internet sehingga bisa diambil oleh siapa pun melalui Pirate Bay.
http://www.republika.co.id/berita/tr...uat-printer-3d


Berhasil dibuat pistol dengan printer 3D
Terbaru 6 Mei 2013 - 21:54 WIB



Pistol dibuat dengan menggunakan mesin cetak 3D seharga US$8.000.

Pistol pertama di dunia yang dibuat dengan teknologi 3D berhasil ditembakkan di Amerika Serikat. Kelompok kontroversial yang menciptakan senjata api ini, Defense Distributed, berencana mempublikasikan cetak biru senjata di internet. Pembuatan senjata api ini memakan waktu satu tahun dan saat dilakukan uji coba di Austin, Texas, hasilnya tidak mengecewakan.

Teknologi ini bekerja dengan menumpuk berlapis-lapis materi, biasanya plastik, untuk membangun sebuah objek padat yang kompleks. Idenya adalah dengan semakin murahnya harga printer, maka konsumen dapat dengan mudah mengunduh desain dan mencetak benda-benda yang mereka inginkan di rumah, dari pada berbelanja ke toko. Pistol ini dibuat dari mesin cetak 3D seharga US$8.000 (Rp77 juta) yang dibeli di situs lelang eBay.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/majal...adimensi.shtml

Keren, Orang Indonesia Bikin "Printer" 3D
Senin, 8 Juli 2013 | 17.16 WIB



JAKARTA, KOMPAS.com — Berawal dari kegemarannya pada dunia desain grafis, Johanes Djauhari kini merakit mesin pencetak (printer) 3D. Dengan memanfaatkan teknologi open source, printer 3D yang dirakit Johanes dapat mencetak dokumen digital menjadi benda tiga dimensi. Johanes bekerja sebagai desainer produk. Beberapa klien yang hendak membuat produk kadang tak puas jika hanya melihat desain tersebut dalam bentuk dokumen digital. Mereka ingin bentuk fisik meski berukuran kecil. "Nah, dari situlah, kenapa tidak saya buat printer 3D sendiri," katanya saat ditemui KompasTekno di acara Popcon Asia 2013 di Jakarta Convention Center, awal Juli lalu. Johanes juga gemar pada mainan (toys). Banyak rekannya yang mendesain karakter toys dan hendak merealisasikan idenya menjadi bentuk nyata. Beberapa dari mereka memakai jasa Johanes untuk cetak 3D.


Johanes mencetak 3D karakter superhero Hebring versi hitam karya Main Studios asal Jakarta

3D printing merupakan proses cetak berlapis untuk membentuk benda padat dengan perspektif 3D yang dapat dipegang dan memiliki volume. Materi yang digunakan adalah plastik, bisa jenis acrylonitrile butadiene styrene (ABS) maupun polylactic acid (PLA). "Kalau saya suka pakai PLA. Dia terbuat dari biji jagung dan bisa terurai. Kalau ABS adalah materi yang dipakai mainan lego, yang terbilang lama terurainya," ujar Johanes.

Proses pencetakan memang terbilang lama. Butuh waktu dua jam untuk mencetak benda 3D dengan dimensi tinggi 10 cm, panjang 5cm, dan lebar 5 cm. Sebenarnya, proses cetak itu bisa dipercepat. Namun, ada beberapa konsekuensi yang harus diterima, di mana bagian dalam obyek menjadi tidak padat alias kopong. Benda yang dicetak dari printer 3D sejauh ini hanya bisa dihasilkan dalam satu warna. "Jika ingin berwarna, kita harus memberi cat secara manual. Materi plastiknya tidak akan rusak jika kena cat," klaim Johanes.


Karakter Minion dalam film animasi Despicable Me dicetak dengan warna kuning dan dibubuhi cat agar karakter tersebut mirip seperti aslinya.

Keseriusan Johanes merakit printer 3D dimulai pada 2011. Ia mendirikan Bikin Bikin 3D Print dan aktif ikut pameran untuk memperkenalkan teknologi ini. Kala itu, desain luar printer buatannya masih berupa kerangka. Setelah melewati beberapa kali pengembangan, kini printer 3D-nya semakin akurat dan didesain menggunakan casing. "Akurasinya sampai 0,2 mm," tutur Johanes.

Akurasi itu dibuktikan dengan mencetak replika arca yang penuh detail dan lekukan. Johanes terlebih dahulu memindai seluruh bagian arca asli yang tersimpan di Museum Nasional. Setelah mendapat file pindainya, mulailah Johanes mendesain 3D lalu mencetak dengan printer buatannya sendiri.


Hasil cetak 3D replika arca yang tersimpan di Museum Nasional

Memanfaatkan "open source"
Dalam mengembangkan printer 3D, Johanes memanfaatkan teknologi open source untuk driver dan software. Ia ikut dalam forum internet yang khusus membahas teknologi printer 3D. "Di forum ini, kita bisa tahu kalau ada algoritma yang lebih baik dan memberi struktur lebih mudah. Bukan cuma soal teknis, dari sana juga kita tahu soal materi yang mudah dicari dan lebih terjangkau," jelasnya.

Untuk mendesain bentuk 3D, Johanes menggunakan software Pronter Face dan Repetier. Komputer yang dipakainya terhubung ke motherboard printer melalui kabel USB. Motherboard inilah yang memerintahkan gerakan koordinat X, Y, dan Z, menerjemahkan dokumen digital menjadi obyek nyata 3D.Printer 3D yang dibuat Johanes masuk dalam tahap pengembangan akhir. Ia membuka pre-order dengan harga Rp 10 juta. Setelah masa pre-order berakhir pada September 2013, printer 3D bakal dibanderol Rp 12 juta. 
http://tekno.kompas.com/read/2013/07...kin.Printer.3D

Dengan Printer 3D, Imajinasi Tersalurkan ...




 .

Sumber

Tags :
Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 15, 2013

GUNDALA PUTERA PETIR: BERLARI 40 TAHUN SECEPAT TOPAN




oleh Surjorimba Suroto. Dipublikasikan di harian Koran Tempo, suplemen Ruang Baca, 22 Februari 2009


Banana Publishing, yang sebelumnya pernah menerbitkan novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur: Jalur Kayu Manis (2007), kembali dengan produk terbarunya. Eendaagsche Exprestreinen membawa misi serupa dengan pendahulunya, mengenalkan sedikit sejarah bangsa Indonesia dalam format gambar dan cerita fiksi. Fokus utamanya adalah perkeretaapian Indonesia awal abad 20, pada masa Hindia Belanda.

Berukuran standar komik Eropa yang besar dan penuh warna, pembaca seakan diajak kembali ke masa kejayaan salah satu kiblat penting dunia komik abad ke-20. Pewarnaan yang lembut namun mudah dibedakan, jumlah halaman yang juga mengikuti lazimnya komik Eropa, hingga gaya ilustrasi yang sepintas sudah bisa ditebak sangat terinspirasi begawan komik asal Belgia, Herge. Pembaca mungkin masih ingat dengan novel grafis sejenis, Rampokan Jawa (Peter van Dongen, 2005), yang mengambil masa transisi kemerdekaan Indonesia. Bolehlah Eendaagsche Exprestreinen disandingkan dengan Rampokan Jawa dalam satu genre novel grafis.

Penulis utama dibalik Eendaagsche Exprestreinen adalah Risdianto. Dengan skripsinya yang berjudul Kereta Api Surabaya – Pasuruan – Malang 1875-1900, Risdianto lulus di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. ”Skripsi ini bercerita mengenai pembangunan jalur kereta api Surabaya – Pasuruan – Malang tahun 1875 – 1900,” katanya. Dia menjelaskan jalur kereta api ini adalah yang kedua di pulau Jawa setelah jalur Semarang – Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta). Yang membangun jalur itu perusahaan pemerintah Hindia Belanda, Staatssporwegen. Dalam skripsi ini saya menggambarkan dampak sosial dan ekonomi pada jalur kereta Surabaya – Pasuruan – Malang,” katanya.

Tetapi tema perkeretaapian tidak digunakan sebagai sentral cerita dalam Eendaagsche Exprestreinen. Novel grafis ini menampilkan kisah fiksi detektif yang mengambil tempat di dalam kereta api jurusan Jakarta-Surabaya. Dalam penulisan naskah, Risdianto dibantu oleh Yusi Pareanom.

Walau pada ilustrasi sampul depan tidak mudah ditebak bahwa novel grafis ini berkisah tentang kereta api, halaman pertama sudah memberikan petunjuk jelas. Jadwal perjalanan kereta api, stasiun Beos (kini stasiun Jakarta Kota), dan kedatangan sebuah keluarga di halaman depan stasiun sudah memancing aroma kereta api. Tak lama pembaca dibuat terkagum dengan ilustrasi arsitektur dan interior Stasiun Beos yang tersohor itu. Arsitektur stasiun yang mengagumkan ini dibuat oleh Ghijsels (1882-1947). Dibangun selama dua tahun hingga peresmiannya pada 8 Oktober 1929. Sedikit keindahan karya Ghijsels dapat kita saksikan disini. Sayang peran Stasiun Beos (kini bernama Stasiun Jakarta Kota) sebatas tempat pemberangkatan, hingga primadonna Ghijsels ini tidak sempat dieksplorasi lebih jauh. Semoga di lain kesempatan ada novel grafis dengan fokus lokasi peristiwa di Stasiun Beos.

Suasana jalur kereta api Jakarta-Surabaya dapat disaksikan disini, yang merujuk pada dokumentasi tempo doeloe. Desain lokomotif dan rangkaian kereta dibuat dengan cermat oleh tim ilustrator yang terdiri dari Bondan Winarno, Dhian Prasetya, dan Gede Juliantara.

Selain itu dapat ditemukan juga stasiun kecil, kondisi kecelakaan kereta api, beberapa bangunan gaya art deco, interior lokomotif, hingga kehidupan sosial masyarakat sekitar perlintasan kereta api-tanah pertanian, pasar, pedagang asongan, hingga pemangkas rambut bawah pohon. Semua ada, lengkap dengan dagelan yang seakan menjadi ciri khas novel grafis terbitan Banana Publishing sejak Ekspedisi Kapal Borobudur.

Ingin sedikit mengenal cara kerja kereta api? Ada juga, dan kita dipandu oleh tiga remaja cilik penumpang kereta. Ketiga remaja cilik inilah aktor utama dalam membongkar pencurian permata di atas kereta api. Sinyo (bocah keturunan Belanda), Seta (pribumi), dan A Xiu (putri keturunan Cina). Bertiga mereka menjadi kawan seperjalanan dan bersama-sama mencari dalang pencuri kotak permata milik kakek A Xiu.

Ikutilah petualangan dan cerita detektif bergaya Tintin, walau mungkin tidak sekompleks karakter ciptaan Herge 80 tahun lalu itu. Bertiga mereka selayaknya Lima Sekawan atau Sapta Siaga-nya Enid Blyton menikmati perjalanan kereta api, sambil melacak pencuri permata. Seting pencurian mengambil tempat dan waktu di dalam rangkaian kereta api, walau sesekali bersinggungan dengan lingkungan luar.

Menyatunya sejarah perkeretaapian Indonesia dan kisah detektif berlangsung mulus, walau ada beberapa kekurangan. Elemen suspense dan investigasi kurang mengigit, walau sebenarnya mampu dilakukan ketiga tokoh utama ini. Seandainya saja drama mencekam ala Murder On The Orient Express (karya Agatha Christie yang diadaptasi menjadi novel grafis oleh Francois Riviere, 2007) didapatkan dalam Eendaagsche Exprestreinen. Peran ketiga tokoh cilik ini dapat menjadi lebih menarik dan mengundang decak kagum. Namun apa yang dilakukan ketiga bocah cilik ini sudah cukup baik dan mereka berbagi peran secara berimbang.

Beberapa bumbu cerita juga ada disini, selain suasana kehidupan sosial sekitar lintasan kereta api. Obrolan pro-kemerdekaan tentang perjuangan Soekarno, cinta monyet (atau tepatnya cinta lokal) antara Seta dan A Xiu, buronan polisi yang bersembunyi di kereta api, termasuk gangguan jadwal perjalanan (yang masih terjadi hingga hari ini).

”Kami ingin orang-orang tahu sejarah Indonesia bukan saja dari sejarah tentang peristiwa-peristiwa besar saja. Tetapi yang kecil-kecil itu juga bagian dari sejarah Indonesia. Juga untuk meramaikan perkomikkan Indonesia,” Risdianto menambahkan.

Kehadiran novel grafis dengan sejarah kereta api ini memang menambah warna-warni wajah komik nasional, yang banyak dinilai miskin ide dan variasi. Bukannya tidak mungkin kelak kita akan menemukan lebih banyak lagi komik dan novel grafis semacam ini.

komikindonesia.com

Baca Selengkapnya..

YUK, CURHAT LEWAT GAMBAR!




oleh Ester Sondang dan Henry Ismono
Dipublikasikan pertama kali di Tabloid Nova, edisi 1113, 22-28 Juni 2009

Diary Graphic atau komik curhat memang sudah biasa di luar negeri. Kendati di sini masih tergolong baru, toh, hasil karya dua ibu ini langsung diminati.

Curhat Tita karya Tita Larasati (37), ternyata memberi banyak inspirasi pada pembacanya. Bisa dibilang, Tita adalah salah satu pelopor penulis diary graphic di Indonesia saat ini. Jika orang lain menuliskan kejadian sehari-hari yang dialaminya, Tita memilih media gambar. Ia melukiskan suasana hati, pikiran, bahkan potret dirinya secara apa adanya. Di bukunya, perempuan yang sejak kecil suka menggambar ini melukiskan dirinya sebagai sosok bertubuh tinggi gempal, rambut pendek yang jarang tersisir, kacamata, kemeja flanel kotak-kotak yang tidak terkancing lengkap dengan kaos oblong di dalamnya, plus jins belel. Laiknya sebuah buku harian, Ibu dari Prasidya Dhanurendra Zijlstra (8) dan Syastira Lindri Dwimaharsayani Zijlstra (5) ini menggambar ceritanya dengan alur jelas, seperti komik. “Saya lebih suka menyebutnya diary graphic,” katanya sambil menjelaskan, Asterix, Tintin, dan lainnya, “Jelas disebut komik karena si pembuatnya sadar akan cerita yang dia buat. Si pembuat membuat jalan cerita semenarik mungkin dengan tokoh, lokasi, dan naskah yang sangat terencana. Benar-benar keep the reader on the story.”

Sedangkan, kata Tita lagi, “Yang saya buat, benar-benar apa adanya. Apa yang saya lihat dan amati, itu yang saya gambar. Beda lagi dengan graphic novel yang sekarang juga lagi happening. Itu merupakan novel dalam gambar, sehingga ceritanya lebih padat.”

Tak Yakin Laku

Yang jelas, sejak kecil, Tita sudah menyintai dunia gambar. Ayahnya yang arsitek, selalu membawa buku sketsa dan cat air ke mana-mana. Kebiasaan itulah yang menular ke wanita bernama asli Dwinita Larasati ini.
Begitulah. Lulus dari jurusan Desain Produk ITB, ia memilih melanjutkan kuliah S2 di Design Academy Eindhoven, Belanda, tahun 1998. Di sana pun, ia terus menggambar. Banyak teman kuliahnya yang senang membaca dan selalu menunggu gambar-gambar Tita. “Biasanya, kalau ada teman yang ingin memiliki gambar saya, akan saya kopikan. Jadi, aslinya tetap untuk saya. Sekarang sudah masuk buku sketsa ke-11.”

Dari Eindhoven, Tita lompat ke Amsterdam, mengambil S3 di Delft University of Technology. Nah, tidak jauh dari rumahnya di sana, ada sebuah toko komik terkemuka, Lambiek. Saat Lambiek mengadakan acara Amsterdam 24 hour Comic Day, Tita ikut serta. Tak lama berselang, karyanya terpilih di 24 Hour Comic Highligths di Amerika Serikat.
Ketika kembali ke Tanah Air tahun 2007, istri Sybrand Zijlstra ini dilirik penerbit Cinta Anak Bangsa. “Mereka mau membukukan diary graphic saya. Sempat tak percaya diri mulanya. Apa, ya, ada yang suka dan laku?” kisah dosen ITB ini. Ternyata bukunya, Curhat Tita, laris-manis. “Sekarang sedang menyiapkan terbitan kedua,” ujarnya senang.

Visa Ditolak Lala Malah Berjaya

Karya Tita Larasati rupanya memberikan inspirasi tersendiri pada Sheila Rooswitha (29) alias Lala. Belum lama ini, ia meluncurkan komik curhat berjudul Cerita Si Lala. Sebenarnya, Lala sudah mulai membuat komik curhat tahun 2003 silam. Kala itu, ia sangat kecewa karena gagal melanjutkan studi S2 ke Jerman. “Padahal, semuanya sudah siap. Saya sudah dapat sekolah, tempat tinggal, tingggal mengurus visa,” kisah Lala.

Ia pun kemudian menuangkan unek-uneknya dalam bentuk gambar. “Belasan halaman saya buat. Saya membuatnya dalam diary khusus yang sampai sekarang masih saya simpan,” kata ibu satu anak yang suka menggambar ini. Saat itu, “Enggak terbayang sama sekali, satu saat bisa diterbitkan sebagai buku.”

Kesibukan sebagai pembuat story board artist dan illustrato (karyanya antara lain Arisan (2003), Lovely Luna (2004), dan Cinta Silver (2005) membuatnya sejenak lupa pada komik curhat. Suatu saat, alumni Desain Grafis Universitas Trisakti ini menyaksikan curhat Tita dalam situsnya esduren.multiply.com. “Karya Tita bagus. Wah, ternyata komik curhat sangat seru. Saya pun tergerak bikin lagi,” ujar Lala yang bersama suaminya Fajar membuat foto-foto prapernikahan dalam bentuk gambar.

BUKAN MURAHAN

Berbagai kejadian yang membuatnya sangat berkesan, ia tuangkan dalam goresan yang indah. Misalnya saja saat hamil, piknik ke Jawa Timur bersama keluarga, atau anjing kesayangannya yang lucu. Lala menawarkan kumpulan gambar aneka kejadian ini ke penerbit. Ternyata, penerbit Curhat Anak Bangsa bersedia menerbitkannya. “Penerbit memang mau cari komik jenis ini.”

Lala amat bahagia ketika tahu, karyanya disukai banyak orang. “Kebanyakan kaum perempuan. Ada ibu hamil, ada juga yang baru menikah. Mereka merasa terwakili dalam komik itu. Wah, saya tentu saja sangat senang,” ujar Lala yang melahirkan anak pertama Oktober tahun lalu.

Di sela-sela kesibukannya merawat si buah hati Aradea, Lala rajin menuangkan idenya dalam coretan di kertas. “Sudah banyak goresan yang saya bikin, tinggal nanti menyempurnakannya. Antara lain, tentu saja ketika si buah hati lahir. Senangnya merawat Aradea juga saya tuangkan dalam komik,” kata Lala yang kesukaannya didukung sang suami. “Kebetulan, dia juga penggemar komik dan suka menggambar. Saya sering dapat masukan dari Mas Fajar.”

Kini, bersama suami Lala mengelola Ayla Studio. “Kami jualan jasa bikin ilustrasi. Selama ini, saya sudah menggarap sekian banyak iklan dalam format komik. Misalnya komik pesanan tentang edukasi merawat tanaman,” kata Lala yang amat yakin, komik curhatnya punya segmen tersendiri. “Setidaknya saya ingin menyampaikan, komik bukan bacaan murahan!”





Baca Selengkapnya..

Komik dan Identitas Indonesia



oleh Seno Gumira Ajidarma, dipublikasikan di harian Kompas, Minggu 29 Juli 2012

RA Kosasih, yang meninggal dengan tenang di Rempoa, Tangerang, pada Selasa tanggal 24 Juli 2012 pukul 01.00 dini hari, adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan suatu generasi di kota-kota besar Indonesia, tepatnya antara tahun 1950 dan 1970-an, dalam konteks berkembangnya komik sebagai industri hiburan baru.
Dalam hal Kosasih, disebutkan pembacanya beruntung karena sembari terhibur oleh alur cerita memikat, dengan gambar-gambar yang kini monumental dalam memori-kolektif, ekspresi kemanusiaan seperti Ramayana dan Mahabharata dapat diterima tanpa berkerut kening, tanpa harus kehilangan taraf pencapaian wacananya sama sekali.

Prestasi adaptasi

Dalam komik wayang RA Kosasih, bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih misalnya, dapat segera dirasakan kanak-kanak mana pun yang akan terharu oleh tangis Wibisana, setiap kali saudara-saudara raksasanya gugur, karena pengungkapan titik lemah kesaktian mereka oleh dirinya sendiri; maupun keputusan Karna untuk berperang di pihak Kurawa melawan permintaan Dewi Kunti, ibunya, menghadapi adik-adik kandungnya.

Langkah kebijakan yang dapat menjadi rumit bisa dipahami kanak-kanak yang berkesempatan menilai sendiri pertarungan antara kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Widura, antara kelicinan Kresna dan kejujuran Yudhistira yang membawa malapetaka, ataupun antara kepahlawanan Gatotkaca dan Bhisma, pada dua pihak yang bertentangan, ketika tetap maju menghadapi kematian sebagai bentuk pengabdian.

Dilema kesetiaan Drupadi yang sebetulnya hanya mencintai Arjuna, masalah jender Sihkandi yang bertukar kelamin dengan raksasa, pembutaan diri Gandari atas realitas, tragedi keberanian Pandu yang mati di pangkuan Madrim, konsep the Self Bima yang tidak pernah menyembah; bahkan saat harus mengungkapkan gagasan filosofis Bhagavad-Gita dalam satu jilid khusus, yakni ujaran Kresna ketika Arjuna ragu berperang menghadapi keluarga sendiri, berhasil disampaikan Kosasih secara jernih dan ringan sebagai komik.

Dengan kata lain, Kosasih telah melakukan adaptasi dengan sangat berhasil. Masalahnya, dengan pengertian adaptasi itu, di sebelah manakah kesahihan identitas ”komik Indonesia” yang selalu dilekatkan sebagai jasa kepeloporan Kosasih? Perhatikan dua fakta berikut.

Pertama, komik itu sendiri tidak dikenal Kosasih sebagai ”sesuatu yang Indonesia”. Ketika bekerja sebagai juru gambar Instituut voor Planten ziekten di Bogor, ia melihat dan lantas mempelajarinya dari baris komik (comic strip) asing, seperti serial Flash Gordon, Tarzan, maupun adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly, Jakarta, yang membeli hak ciptanya dari King Features Syndicate, Amerika Serikat. Itu terjadi tahun 1953.

Kedua, komik Ramayana (1955) dan Mahabharata (1957-1959) tidak memainkan peran panakawan, tokoh-tokoh lokal, karena Kosasih sengaja dan memang berniat mengacu pada cerita yang bersumber dari India, yang disebutnya ”tidak pakai fantasi atau tambahan”, seperti tertera dalam halaman pertama komik Mahabharata. Padahal, terbitnya komik wayang sebetulnya adalah reaksi terhadap tuduhan bahwa komik ”tidak berkepribadian nasional”, seperti dilaporkan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Wayang, Siapa Tak Sayang?” (Kompas, 1980).

Indonesia sebagai proses

Dengan hegemoni kebudayaan Amerika Serikat dalam media komiknya, dan kebudayaan India dalam sumber naratifnya, meski acuan Kosasih dalam hal Mahabharata adalah buku Mahabarata tulisan M Saleh (Balai Pustaka, 1949), bagaimanakah caranya komik Kosasih menjadi Indonesia?

Pertama, bahasanya jelas berbahasa Indonesia, dalam pengertian sebagai bahasa yang sedang berjuang membentuk dirinya, ketika wacana wayang hanya dikenal dalam bahasa daerah, terutama Jawa, Bali, dan Sunda, melalui pertunjukan wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang. Faktor ini penting karena dengan begitu wayang lantas dikenal secara nasional tanpa harus mengikuti wayang kulit semalam suntuk dengan bahasa daerah ala dalang, yang bagi kanak-kanak (bahkan juga bagi banyak orang dewasa) secara ironis terasa ”asing”.

Kedua, ikonografi dunia pewayangan dalam komik gubahan Kosasih mengacu pada ikonografi wayang orang atau wayang panggung, yang memang merupakan tontonan populer pada masanya, sebagai pilihan yang lebih komunikatif dibandingkan dengan komik wayang gubahan Sulardi, yang mengacu ikonografi wayang kulit dua dimensional, maupun gubahan Ratmojo yang menjadikan ikonografi wayang kulit itu tiga dimensional. Meski gambarnya realisme tiga dimensional (baca: wacana ”rasional” Barat) yang teracu pada ikonografi wayang orang, justru karena tidak akan pernah bisa terbebas dari ikatan kedaerahan, tertegaskan unikumnya dibandingkan dengan komik mana pun di dunia.

Ketiga, meskipun dimulai dengan semangat setia kepada ”kanda pusaka Hindu”, Kosasih telah melakukan negosiasi alur terhadap babon asalnya, dalam konteks sikapnya sebagai orang Indonesia: (1) Drupadi tidak melakukan poliandri, hanya bermonogami dengan Yudhistira; (2) Gatotkaca tidak berwujud raksasa, bisa terbang, dadanya bertanda bintang, sebagaimana dibawakan penari Wayang Orang Sriwedari kenamaan Rusman; tetapi sebaliknya (3) Sihkandi dipertahankan sebagai pria dan tidak menjadi Srikandi, salah satu istri Arjuna, meski Bhisma tetap tidak sudi melawannya dalam Bharatayudha, dengan alasan ”karena wanita”.

Dengan demikian, perbincangan kasus Kosasih ini dapat dianggap sebagai makna yang ditinggalkan: bahwa pencapaian identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan keberagaman identitas ke dalam dirinya. Identitas sekaligus berarti kebergandaan identitas. Terbukti, keberadaan identitas Indonesia tidak dapat dan tidak perlu mengingkari keberadaan identitas ”non-Indonesia” di dalamnya, seperti ketika komik Kosasih diakui sebagai ”komik Indonesia”.

Sumber : komikindonesia.com
Baca Selengkapnya..

WAYANG ITU KOMIK




oleh: Arswendo Atmowiloto
Dipublikasikan pertama kali di Majalah Tempo, edisi 24-31 Agustus 2009

SEBENARNYA periode komik wayang tak pernah dikenang karena penerbit komik waktu itu menamainya ”komik klasik”. Periode ini ditandai setelah era jenis Sri Asih (tentu bersama Nina, Garuda Putih, Kapten Kilat), superhero yang dianggap kurang nasionalis, mengumbar khayal, dan tuduhan paling aneh: membuat anak-anak malas membaca. Dr Marcel Boneff, pakar komik Indonesia yang selalu jadi rujukan, menggambarkannya sebagai du fruit defendu, buah terlarang. Lebih buruk dari buah simalakama—masih bisa dimakan.

Para penerbit, terutama Melodie dan Cosmos, keduanya di Bandung, sama-sama di Jalan ABC, menghentikan manusia sekaligus dewa itu. Tokoh pahlawan beralih ke cerita rakyat, Ganesha Bangun, Loetoeng Kasaroeng, oleh komikus yang sama, R.A. Kosasih, yang kemudian menserialkan Ramayana dan Mahabharata. Juga nama sejajar sebelumnya, John Lo, serta yang melegenda, S. Ardisoma, Oerip. Pada S. Ardisoma, sapuan kuas menimbulkan suasana puitis untuk adegan keraton, adegan pohon beringin, adegan long shot, bahkan perang sekalipun. Bedanya lagi, R.A. Kosasih setia dengan ”kisah India”, sehingga tokoh punakawan tidak muncul.

Sejak 1958 itu, periode yang kita namai komik wayang memberikan warna di antara jenis-jenis yang lain, walau sebenarnya penerbit Keng Po sudah menerbitkan Lahirnya Gatutkaca pada 1954. Sedemikian populernya jenis wayang, sehingga Bahsjar S.J., pelukis dan ilustrator di Medan—kota lain yang memelopori komik Indonesia—juga membuat komik wayang. Komik dari komikus Medan sedikit berbeda dengan perkembangan di Jawa karena biasanya lebih dulu dimuat di harian setempat. Tak mengherankan jika komikus jawara seperti Taguan Hardjo dalam suatu saat mengisi tiga atau empat media setiap harinya.

Komik wayang, juga komik berdasarkan cerita daerah atau legenda, dinilai lebih aman, lebih mendidik, dan yang jelas lebih mengakar. Sehingga tak dikritik, juga tak kena ”bredel”, periode yang terulang keras pada 1966. Karya-karya R.A. Kosasih merajai dalam jumlah dan jilid yang dikeluarkan. Sambung-menyambung menjunjung kisah pewayangan yang tak banyak dikenal masyarakat non-Jawa.

Menurut saya (yang tak usah diturut), ini yang menyebabkan popularitas Mahabharata panjang usia. Generasi nonpribumi—kalau istilah ini boleh dipakai—atau mereka yang hidup di kota besar pada saat itu baru ”melek wayang”. Jumlahnya cukup banyak, satu jilid bisa mencapai 30 ribu eksemplar. Dan bahan baku ceritanya juga bisa diperpanjang. Sebab, setelah kisah Astina, masih berlanjut ke Prabu Parikesit, kemudian ke Prabu Udrayana. Untuk judul terakhir ini, R.A. Kosasih, 30 tahun lalu ketika saya bertemu, membuatnya di atas kertas minyak sebagai pengganti klise, dan dengan demikian ukuran komik nanti setelah terbit berbanding satu-satu. Artinya, garis dan goresannya terlihat sangat tebal.

Namun sebenarnya bukan hanya itu. Kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, Bogor, bahkan Tasikmalaya, juga melahirkan penerbit dan komikus. Yang menarik sekali adalah tidak adanya keseragaman dalam komik wayang. Gaya masing-masing komikus bisa terbedakan. Bahkan juga konsepnya. Ada beberapa komik wayang yang benar-benar memindahkan wayang kulit, dengan segala keruwetan ornamennya. Ada yang mengambil babon—induk cerita—dari yang selama ini dikenali, ada yang membuat varian dari itu atau bahkan banjaran, yang bersifat biografis dari satu tokoh, ada yang menitikberatkan humor punakawan.

Sesungguhnya inilah keunggulan kreatif bentuk komik, tidak ada matinya. Dinamika kreatif membuktikan bahkan sejak awalnya, tanpa patron, tanpa fasilitas tertentu, bisa lahir berkembang membanjiri pasar atau kamar. Ketika jenis Sri Asih tersisih, jenis wayang melenggang. Ketika wayang menghilang, ganti rupa kisah cinta. Yang mengalami pembredelan dan pengawasan yang sama berubah menjadi komik agama, atau bahkan ”komik Pancasila”, dan/atau kisah perjuangan. Dan masyarakat tetap menerima, menunggu, melalui taman bacaan atau yang dikenal dengan ”persewaan buku”. Mata rantai itu telah tercerai-berai, bahkan dari sumber awalnya, dari komikus. Komik luar negeri lebih murah harga satuannya, lebih berlimpah jumlah judulnya, lebih terarah penyebaran dan promosinya.

Namun komik Indonesia sendiri tak pernah kehilangan gairah, walau galau dan lesu darah. Masih selalu ada komik wayang yang diterbitkan dengan desain yang berbeda, dengan berwarna, dengan ”cahaya” dan ”sudut pengambilan” layaknya sebuah film, atau adegan pertarungan ala game.

Komik dan wayang agaknya memang satu. Merupakan bayang-bayang yang diekspresikan kembali dari keberadaan kita. Selama kita masih ada, selama itu pula masih ada bayangan. Dan itu adalah wayang atau komik, atau dua-duanya.

Sumber : komikindonesia.com


Baca Selengkapnya..

Monday, April 15, 2013

9 Elemen Jurnalistik




Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.

Oleh ANDREAS HARSONO

RESENSI
The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001)
205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)



HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.


Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harianAtlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosenstiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelahCommittee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Postdan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebutmanagement by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalismperlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebutinfotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagaiobjektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Timesmenimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya byline atau kolumnis, juga tidak cukup.

Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

- Jangan menambah atau mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebutTom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dariUniversal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilahadvocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.


SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan narasi (nonfiksi). Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative reportatau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalahTempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.


SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”

PANTAU Nomor 20 Edisi Desember 2001


Sumber

Baca Selengkapnya..