Wednesday, May 15, 2013

Komik dan Identitas Indonesia



oleh Seno Gumira Ajidarma, dipublikasikan di harian Kompas, Minggu 29 Juli 2012

RA Kosasih, yang meninggal dengan tenang di Rempoa, Tangerang, pada Selasa tanggal 24 Juli 2012 pukul 01.00 dini hari, adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan suatu generasi di kota-kota besar Indonesia, tepatnya antara tahun 1950 dan 1970-an, dalam konteks berkembangnya komik sebagai industri hiburan baru.
Dalam hal Kosasih, disebutkan pembacanya beruntung karena sembari terhibur oleh alur cerita memikat, dengan gambar-gambar yang kini monumental dalam memori-kolektif, ekspresi kemanusiaan seperti Ramayana dan Mahabharata dapat diterima tanpa berkerut kening, tanpa harus kehilangan taraf pencapaian wacananya sama sekali.

Prestasi adaptasi

Dalam komik wayang RA Kosasih, bahwa kehidupan ini tidak hitam-putih misalnya, dapat segera dirasakan kanak-kanak mana pun yang akan terharu oleh tangis Wibisana, setiap kali saudara-saudara raksasanya gugur, karena pengungkapan titik lemah kesaktian mereka oleh dirinya sendiri; maupun keputusan Karna untuk berperang di pihak Kurawa melawan permintaan Dewi Kunti, ibunya, menghadapi adik-adik kandungnya.

Langkah kebijakan yang dapat menjadi rumit bisa dipahami kanak-kanak yang berkesempatan menilai sendiri pertarungan antara kelicikan Sangkuni dan kecerdasan Widura, antara kelicinan Kresna dan kejujuran Yudhistira yang membawa malapetaka, ataupun antara kepahlawanan Gatotkaca dan Bhisma, pada dua pihak yang bertentangan, ketika tetap maju menghadapi kematian sebagai bentuk pengabdian.

Dilema kesetiaan Drupadi yang sebetulnya hanya mencintai Arjuna, masalah jender Sihkandi yang bertukar kelamin dengan raksasa, pembutaan diri Gandari atas realitas, tragedi keberanian Pandu yang mati di pangkuan Madrim, konsep the Self Bima yang tidak pernah menyembah; bahkan saat harus mengungkapkan gagasan filosofis Bhagavad-Gita dalam satu jilid khusus, yakni ujaran Kresna ketika Arjuna ragu berperang menghadapi keluarga sendiri, berhasil disampaikan Kosasih secara jernih dan ringan sebagai komik.

Dengan kata lain, Kosasih telah melakukan adaptasi dengan sangat berhasil. Masalahnya, dengan pengertian adaptasi itu, di sebelah manakah kesahihan identitas ”komik Indonesia” yang selalu dilekatkan sebagai jasa kepeloporan Kosasih? Perhatikan dua fakta berikut.

Pertama, komik itu sendiri tidak dikenal Kosasih sebagai ”sesuatu yang Indonesia”. Ketika bekerja sebagai juru gambar Instituut voor Planten ziekten di Bogor, ia melihat dan lantas mempelajarinya dari baris komik (comic strip) asing, seperti serial Flash Gordon, Tarzan, maupun adaptasi komik Alexandre Dumas pada majalah Star Weekly, Jakarta, yang membeli hak ciptanya dari King Features Syndicate, Amerika Serikat. Itu terjadi tahun 1953.

Kedua, komik Ramayana (1955) dan Mahabharata (1957-1959) tidak memainkan peran panakawan, tokoh-tokoh lokal, karena Kosasih sengaja dan memang berniat mengacu pada cerita yang bersumber dari India, yang disebutnya ”tidak pakai fantasi atau tambahan”, seperti tertera dalam halaman pertama komik Mahabharata. Padahal, terbitnya komik wayang sebetulnya adalah reaksi terhadap tuduhan bahwa komik ”tidak berkepribadian nasional”, seperti dilaporkan Arswendo Atmowiloto dalam ”Komik Wayang, Siapa Tak Sayang?” (Kompas, 1980).

Indonesia sebagai proses

Dengan hegemoni kebudayaan Amerika Serikat dalam media komiknya, dan kebudayaan India dalam sumber naratifnya, meski acuan Kosasih dalam hal Mahabharata adalah buku Mahabarata tulisan M Saleh (Balai Pustaka, 1949), bagaimanakah caranya komik Kosasih menjadi Indonesia?

Pertama, bahasanya jelas berbahasa Indonesia, dalam pengertian sebagai bahasa yang sedang berjuang membentuk dirinya, ketika wacana wayang hanya dikenal dalam bahasa daerah, terutama Jawa, Bali, dan Sunda, melalui pertunjukan wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang. Faktor ini penting karena dengan begitu wayang lantas dikenal secara nasional tanpa harus mengikuti wayang kulit semalam suntuk dengan bahasa daerah ala dalang, yang bagi kanak-kanak (bahkan juga bagi banyak orang dewasa) secara ironis terasa ”asing”.

Kedua, ikonografi dunia pewayangan dalam komik gubahan Kosasih mengacu pada ikonografi wayang orang atau wayang panggung, yang memang merupakan tontonan populer pada masanya, sebagai pilihan yang lebih komunikatif dibandingkan dengan komik wayang gubahan Sulardi, yang mengacu ikonografi wayang kulit dua dimensional, maupun gubahan Ratmojo yang menjadikan ikonografi wayang kulit itu tiga dimensional. Meski gambarnya realisme tiga dimensional (baca: wacana ”rasional” Barat) yang teracu pada ikonografi wayang orang, justru karena tidak akan pernah bisa terbebas dari ikatan kedaerahan, tertegaskan unikumnya dibandingkan dengan komik mana pun di dunia.

Ketiga, meskipun dimulai dengan semangat setia kepada ”kanda pusaka Hindu”, Kosasih telah melakukan negosiasi alur terhadap babon asalnya, dalam konteks sikapnya sebagai orang Indonesia: (1) Drupadi tidak melakukan poliandri, hanya bermonogami dengan Yudhistira; (2) Gatotkaca tidak berwujud raksasa, bisa terbang, dadanya bertanda bintang, sebagaimana dibawakan penari Wayang Orang Sriwedari kenamaan Rusman; tetapi sebaliknya (3) Sihkandi dipertahankan sebagai pria dan tidak menjadi Srikandi, salah satu istri Arjuna, meski Bhisma tetap tidak sudi melawannya dalam Bharatayudha, dengan alasan ”karena wanita”.

Dengan demikian, perbincangan kasus Kosasih ini dapat dianggap sebagai makna yang ditinggalkan: bahwa pencapaian identitas Indonesia merupakan proses yang melibatkan keberagaman identitas ke dalam dirinya. Identitas sekaligus berarti kebergandaan identitas. Terbukti, keberadaan identitas Indonesia tidak dapat dan tidak perlu mengingkari keberadaan identitas ”non-Indonesia” di dalamnya, seperti ketika komik Kosasih diakui sebagai ”komik Indonesia”.

Sumber : komikindonesia.com

Related Post | Artikel Terkait



Get this widget [ Here ]

No comments:

Post a Comment