Thursday, May 31, 2012

Musi Sehat Palembang Hebat

Kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel mengucapkan terima kasih kepada para donatur yang telah berdonasi dalam Program “Musi Sehat Palembang Hebat” Payo samo samo kito selamatke dari Pencemaran.

Berikut ini adalah daftar Nama dan jumlah Donasi melalui pembelian Voucher yang kami Terima, melalui kegiatan Direct Dialogue yang diadakan pada Malam Puncak perayaan HUT WALHI ke 31 Tahun pada 13 Oktober 2011 bertempat di Gunz Café n resto Kambang Iwak Palembag.

Download : http://goo.gl/2jpuq

Baca Selengkapnya..

Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur Seribu Rupiah Untuk Anak - Anak Korban Lapindo


Sudah lebih dari 5 tahun, sejak 29 Mei 2006, semburan lumpur Lapindo terus berlangsung tanpa ada upaya cerdas dari negara dan Lapindo untuk mengatasinya. Ratusan ribu warga terancam keselamatan hidupnya, termasuk nasib pendidikan anak-anak.

Tiap mendekati tahun ajaran baru, ratusan anak-anak korban lumpur Lapindo tidak menentu masa depannya, apakah dapat melanjutkan sekolah atau tidak. Tidak jarang diantaranya terpaksa harus putus sekolah karena orang tuanya tak mampu lagi membiayai pendidikan dan kehidupan mereka sehari-hari, sementara biaya sekolah terus naik. Sementara pemerintah maupun Lapindo selama ini hanya sibuk mengurusi ganti rugi yang tak kunjung selesai.

Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur telah dijalankan sejak tahun 2010. Pada pengalaman sebelumnya, 87 anak telah dibantu biaya pendidikannya, berkisar 220 ribu hingga 1,8 juta rupiah, bergantung tingkat sekolah, kebutuhan, dan kondisi keluarga. Donasi tersebut disalurkan langsung kepada sekolah dengan disetujui oleh orangtua siswa ataupun juga melalui orangtua masing-masing siswa.

Untuk itu, kami mengajak anda untuk memberikan dukungan kepada anak-anak korban lumpur Lapindo agar pendidikannya dapat dilanjutkan dan tidak menjadi bagian generasi suram yang tidak memiliki masa depan.

Pada pengumpulan donasi tahap 2 ini, Agustus-Desember 2011, ada 212 anak yang terdata kesulitan dalam pembiayaan pendidikan dan membutuhkan bantuan. Bantuan pembiayaan pendidikan meliputi seragam, buku, daftar ulang, sumbangan uang gedung, ujian, pengambilan raport, dan lainnya.

Pada tahap berikutnya, pengumpulan donasi akan diperluas dengan program orang tua asuh, beasiswa, dan pendanaan abadi perbaikan pendidikan bagi anak-anak korban lumpur Lapindo.

Seribu rupiah yang anda sumbangkan, sangat berarti bagi kelanjutan pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo.

Walhi
Baca Selengkapnya..

Kebijakan Intruksi Presiden (INPRES) RI No. 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Primer

“KEBIJAKAN INSTRUKSI PRESIDEN (INPRES) RI NO. 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN IZIN BARU DI HUTAN PRIMER DAN LAHAN GAMBUT DAN INSTRUKSI GUBERNUR (INGUB) ACEH

NO. 05/INSTR/2007 MASIH TERSIMPAN RAPI DI “LAPTOP” PEMERINTAH INDONESIA DAN PEMERINTAH ACEH,

DAN BELUM TERIMPLEMENTASI DENGAN BAIK DI LAPANGAN”

Setahun yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei 2011, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani dan memberlakukan sebuah kebijakan penting di sektor kehutanan, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kebijakan ini tentu saja sebuah langkah baik dan sepatutnya diberikan apresiasi sebagai sebuah usaha dalam rangka penyelamatan hutan di Indonesia.

Namun patut juga di ingat bahwa sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat tersebut sudah sangat “ketinggalan kereta” dibandingkan Provinsi Aceh, karena Pemerintah Aceh justru sudah terlebih dahulu mengeluarkan sebuah kebijakan penting terkait pengelolaan hutan di Aceh, yakni Instruksi Gubernur (Ingub) Nanggroe Aceh Darussalam No. 05/INSTR/2007, tentang Moratorium Logging (Penghentian Sementara Penebangan Hutan) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (saat ini Provinsi Aceh), yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh saat itu Irwandi Yusuf, pada tanggal 6 Juni 2007.

Lalu apa yang salah dengan kedua kebijakan tersebut? Justru sebenarnya tidak ada yang salah dengan kedua kebijakan, yang salah adalah sejauh mana kedua kebijakan penting tersebut dapat diimplementasikan secara baik dan tepat di lapangan. Bagaimana mungkin kebijakan tersebut bisa diimplementasikan secara baik di lapangan jika sampai saat ini masih saja di simpan rapi di dalam “laptop” Pemerintah maupun Pemerintah Aceh.

Seharusnya Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru ataupun Moratorium Logging merupakan pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang (Redesign), penanaman kembali hutan (Reforestasi), dan menekan laju kerusakan hutan (Reduksi deforestasi) atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. Konsep ini diharapkan untuk mewujudkan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”. Jeda (moratorium) tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.

Dua hal penting yang menjadi pertimbangan diberlakukannya kebijakan Moratotarium/Jeda tebang di Aceh adalah bahwa di Aceh terjadi berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor dan gangguan satwa liar antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali, dan yang kedua adalah semangat untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan serta untuk menata kembali strategi pembangunan hutan Aceh. Kebijakan moratorium yang dideklarasikan oleh Pemerintahan Aceh tersebut seharusnya juga mengikat para pemegang konsesi penebangan, yaitu HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan. Kebijakan Moratorium Logging yang dituangkan dalam instruksi gubernur telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup pemerintah Aceh untuk memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan.

Secara umum, jika kita melihat berbagai persoalan yang ada di sektor kehutanan baik di Indonesia maupun di Aceh, sungguh luar biasa banyak. Mulai dari masalah korupsi, penegakan hukum yang lemah, penebangan illegal (illegal logging), pembakaran hutan, konversi lahan menjadi perkebunan dan tambang, ekspansi yang tidak bertanggungjawab di lahan hutan dan rawa gambut serta berbagai konflik antara manusia dengan satwa liar hingga konflik antara masyarakat adat dengan pihak pengusaha yang dilindungi oleh penguasa, dan berbagai persoalan lainnya yang semakin hari semakin rumit dan carut marut.

Walhi Aceh menilai bahwa sejak diberlakukannya Kebijakan Moratorium logging di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan. Catatan WALHI Aceh sendiri, jika pada tahun 2006, kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000 hingga 21.000 hektar per-tahunnya, namun catatan WALHI Aceh pada akhir tahun 2010 saja kerusakan hutan di Aceh justru bertambah hingga mencapai 23.000 hingga 40.000 hektar per-tahun, dan ini juga dibuktikan dengan kejadian bencana yang sepanjang tahun semakin bertambah.

Jika melirik lebih jauh terkait kebijakan nasional melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sepertinya hal ini jelas-jelas dikangkangi dan dihiraukan sama sekali. Dengan sangat berani Instruksi Presiden tersebut dilanggar oleh Gubernur Aceh yang berkuasa saat itu, dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Hektar, dan jelas sekali bahwa hal ini sangat bertolak belakang dengan Surat Bupati Nagan Raya, No. 601/481/2011, tanggal 21 Nopember 2011 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditembuskan kepada Gubernur Aceh dan instansi terkait bahwa Pemerintah Kabupaten Nagan Raya tidak dapat memberikan izin lokasi usaha tersebut untuk budidaya perkebunan kelapa sawit kepada PT. Kalista Alam. Lalu pertanyaannya kemudian, permainan apa lagi ini yang sedang dipertontonkan?

Lalu dari sekian banyak kasus yang terjadi, pertanyaannya kemudian apakah moratorium bisa menjadi kebijakan “juru selamat” atas kerusakan hutan kita? Tentu saja bisa, namun dengan syarat bahwa kebijakan tersebut diperkuat, dijalankan dengan benar, dengan capaian dan target yang jelas dan bukan hanya dibatasi dengan menunda izin selama dua tahun semata, Namun yang penting difikirkan adalah perbaikan secara ikhlas dan sungguh-sungguh berbagai persoalan yang mengakar pada tatakelola hutan dan birokrasi pemerintahan kita. Dalam hal ini, Moratorium bukanlah tujuan akhir melainkan sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai pengurangan laju deforestasi. Moratorium juga mengandung makna korektif, tidak hanya sebuah upaya jeda tetapi terutama upaya memperbaiki keadaan. Karena itu, moratorium berkaitan dengan target perubahan yang ingin dicapai. Target tersebut terumuskan dalam ukuran yang jelas sehingga pada saatnya bisa jadi ukuran yang menentukan apakah selama periode moratorium ukuran-ukuran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum.

WALHI Aceh menyerukan perlu dan segera dilakukan pembaharuan dan penguatan Inpres No. 10/2011 dan Ingub Aceh No. 05/INSTR/2007. Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik. Mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya.

Banda Aceh, 21 Mei 2012

Hormat Kami,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh
Teuku Muhammad Zulfikar

Direktur Eksekutif
HP: 08126901283

walhi.or.id

Baca Selengkapnya..

Akses Pangan: Di manakah Ruang bagi Perempuan?


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman” (UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan)

Tiap mahkluk hidup membutuhkan pangan, begitu juga dengan manusia. Selain untuk tumbuh dan berkembang, pangan merupakan sumber tenaga bagi manusia untuk tetap sehat, sehingga mampu bergerak, beraktifitas dan berproduksi. Untuk memperoleh semua itu, maka tubuh manusia membutuhkan pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya baik secara fisik, biologi maupun kimia yang memungkinkan kebutuhan akan zat gizi.

Menurut Ayib, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam konteks sosial budaya, pangan tidak hanya bernilai gizi, karena di masyarakat pangan memiliki dimensi dan nilai yang tinggi. Pangan merupakan alat sosial dalam kehidupan masyarakat. Kerap kali pangan menjadi alat perekat bagi suatu komunitas sekaligus identitas. Semisal sagu, menjadi identitas masyarakat adat Papua.

Indonesia mengatur kondisi perpanganannya melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996, namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil (baca: petani), terutama perempuan, karena undang-undang ini cenderung berpihak pada pihak pengusaha (swasta) dan menjadikan pangan hanya sebagai komoditas bukan kebutuhan pokok warga negara.

Masalah pangan juga menjadi persoalan negara-negara di dunia, hal tersebut bisa dilihat dari salah satu target dalam Milinium Development Goals (MDGs), yang Indonesia juga turut menandatanganinya dan harus dicapai di tahun 2015, yakni mengurangi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya (Tujuan 1, Target B)

Hanya empat tahun lagi target tersebut harus dicapai, sedikit indikator yang masih on the track bahkan memerlukan perhatian khusus, seperti misalnya prevelensi balita gizi buruk, yang merupakan indikator dari Target B, Tujuan 1. Pola konsumsi makanan oleh masyarakat merupakan salah satu penyumbang terjadinya gizi buruk yang dipengaruhi pula dengan bagaimana mereka mengakses pangan. Mempercepat penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak turut memberikan kontribusi bagi pencapaian MDGs ke-1 (Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan), MDGs ke-4 (Mengurangi Tingkat Kematian Anak), MDGs ke-5 (Meningkatkan Kesehatan Ibu) dan MDGs ke-6 (Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya).

Tidak Adanya Keberagaman Pangan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kontur tanah yang beragam, di mana beragam pula tumbuhan yang hidup di dalamnya. Tetapi sayang, politik Orde Baru telah mendoktrinisasi bahwa pangan adalah beras, maka dengan demikian keberagaman pangan yang ada menjadi hilang, karena adanya sistem pangan homogen.

”Jika melihat esensi utama pangan sebagai sumber gizi untuk hidup sehat, maka pangan sangatlah luas dan kaya sumbernya. Namun di Indonesia, pangan dimaknai sebagai bahan pangan pokok. Dan karena pangan pokoknya beras, jadilah seolah-olah ketika muncul kata pangan sama artinya dengan beras”, demikian Ayip mengungkapkan.

Kekeliruan lain ketika berbicara pangan terkait soal teritori, sering hanya soal daratan semata (baca: pertanian). Padahal pangan berasal dari nabati dan hewani. Untuk sumber pangan hewani, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber yang melimpah karena dikelilingi oleh lautan. Namun sayang, potensi itu pun belum dioptimalkan.

”Pangan yang dibicarakan masih kebanyakan yang di darat, yang merupakan hasil dari pertanian, belum dari sektor perikanan”, demikian ungkap Mida Saragih, dari Kiara.

Adanya indoktrinisasi pangan adalah beras di seluruh wilayah Indonesia telah mengubah pangan-pangan lokal yang sebelumnya ada. “Dahulu, beberapa pulau di Indonesia bagian timur memiliki makanan pokok bukan beras. Misalnya Papua banyak mengkonsumsi umbi-umbian, di NTT makan jagung, Sulawesi makan sagu atau singkong, dan lainnya. Karena tanaman inilah yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah itu di mana memiliki lahan dengan karakteristik kering, berbatu, kurang subur, tidak banyak air. Di wilayah Jawa dan Indonesia bagian Barat makanan utama adalah beras, karena lahannya relatif subur dan banyak air maka padi dapat tumbuh dengan baik”, demikian pendapat Kodar Tri Wusananingsih, dari Seknas Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA).

Karena kondisi yang demikian, Ayip melihat bahwa perlahan namun pasti, konsumsi pokok menjadi homogen, yakni BERAS. “Homogenitas itu menciptakan konsekuensi yang luar biasa. Pertama, adanya tuntutan untuk terus menjaga produksi beras memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sehingga, menjadi logis segala kebijakan dan program diarahkan ke peningkatan produksi beras.”, demikian ungkapnya.

Ketika beras sulit di produksi, karena lahan subur semakin hilang dan pangan dianggap hanya sebagai komoditas, serta beras dimaknai superior dibanding pangan lainnya, maka ketika terjadi krisis pangan, impor beras menjadi pilihan, dan sayangnya kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat kecil, semua orang--hanya kepada pengusaha/swasta--akhirnya berlomba-lomba untuk mengimpor beras tanpa memperhatikan produsen kecil (petani).

Akses Perempuan Terhadap Pangan

Perempuan kerap dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap penyediaan pangan bagi keluarganya sehari-hari. Maka ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan yang harus berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan makanan bagi keluarganya, dengan cara bekerja apa saja dan mencari bahan makanan apa saja, yang ada di sekitar rumahnya atau lingkungannya.

Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, di salah satu wilayah dampingan PEKKA, pada musim panen ibu-ibu Pekka yang masih muda dan kuat banyak yang bekerja di sawah memanen padi sampai pergi ke kecamatan atau kabupaten lain dan menginap berhari-hari. Mereka menginap di tengah sawah, karena tidak ada pilihan lain. Untuk ibu-ibu Pekka yang tua dan tidak bisa memburuh lagi akan memungut sisa-sisa gabah yang menempel di tangkai atau jatuh di sawah. Kemudian memilahkannya dari tangkainya atau dari tanah dan batu yang tercampur. Dari hasil seperti ini, mereka dapat hidup 1-3 hari untuk dirinya.

Sementara itu di wilayah Pekka yang kondisi alamnya tidak subur, maka banyak laki-laki yang pergi merantau meninggalkan isteri dan anaknya di rumah. Maka beban pengadaan pangan dan seluruh kebutuhan pangan keluarga bertumpu pada perempuan. “Perempuan yang menanam, merawat, memanen dan mengolah pangan untuk dirinya dan keluarganya. Pada saat pangan hasil kebun sendiri tidak cukup, perempuan maka akan bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya, dan ini tidak mudah, karena peluang terbatas” demikian ungkap Kodar.

Budaya patriarkat yang masih berlaku di berbagai daerah, membuat perempuan mengakses pangan terakhir setelah suami dan anak-anaknya, ketika kebutuhan pangan dalam rumah tangga tidak tercukupi. Padahal, ketika bicara soal asupan gizi, maka perempuan sangat membutuhkan, apalagi ketika ia sedang hamil atau menyusui. Ketika akses perempuan terhadap pangan tidak terpenuhi, perempuan tidak memperoleh asupan gizi yang cukup, maka akan turut mempengaruhi gizi buruk, kematian ibu dan kematian anak.

“Akses pangan adalah Hak Asasi Manusia, maka perempuan mempunyai akses yang sama besarnya dalam hal pangan, dalam kondisi-kondisi tertentu seperti saat perempuan hamil dan menyusui, maka akses perempuan terhadap pangan harus lebih diutamakan”, ungkap Islah dari WALHI.

Perempuan sering tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, padahal keterlibatan perempuan di situ sangat besar. Melihat hal ini, Jumi Rahayu dari WALHI berpendapat, bahwa karena naluri tersebut sudah melekat dalam diri perempuan. “Perempuan tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang naluriah saja, kaitannya dengan peran gender perempuan sebagai pengurus rumah tangga dsb”.

Karena adanya kerusakan lingkungan, dalam beberapa kasus, peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan air dan pangan menjadi tidak berdaya. Islah mencoba memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di NTT, akibat penghancuran hutan yang dilakukan, kebun-kebun sayur untuk kebutuhan sehari-hari menjadi kekeringan dan perempuan harus memikul air berkilo-kilo meter karena sumber air kering yang akibat hutan mereka di bakar Dinas Kehutanan (TTS, 2008).

“Kalau ditanyakan mengapa perempuan tidak dilihat sebagai yang memiliki pengetahuan dalam mengelola sumberdaya pangan, maka jawabannya adalah pola produksi pangan "modern"-lah yang menghancurkan peran-peran perempuan dalam menghasilkan pangan”, demikian Islah menjelaskan.

Sampai saat ini, tidak ada yang membantah bahwa perempuan adalah sejatinya produsen pangan. Keterlibatan perempuan tidak hanya dalam hal produksi, distribusi bahkan konsumsi. “Dalam hal produksi padi misalnya, 80% proses produksi perempuan terlibat didalamnya. Dalam hal konsumsi, perempuan merupakan aktor utamanya. Namun saying, besarnya kontribusi perempuan pada proses-proses produksi-distribusi-konsumsi pangan tidak serta merta meningkatkan posisi dan aksesnya terhadap sumber pangan”, jelas Ayip.

Selama ini, perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal dengan keterlibatan perempuan dalam pangan menunjukkan mereka sebagai pihak yang kaya akan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Sampai kini, perempuan masih dipinggirkan. Akses akan pengetahuan dan sumber pangan masih terbatas. Peminggiran ini dapat dengan mudah dilihat dalam pengembangan teknologi produksi pangan yang bias laki-laki.

Dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah dengan mudah dijumpai desain yang lebih banyak memperhitungkan laki-laki ketimbang kesetaraan yang memungkinkan perempuan terlibat di dalamnya. Walaupun terakhir sudah ada program yang khusus untuk perempuan tani, namun dalam implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.

Peran Negara dalam Memenuhi Pangan

Ketika bicara hak, maka akan ada pihak lain yang seharusnya berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut, dalam hal ini mestinya pemerintah. Pemerintah melalui kebijakan dan peraturan yang ada dapat memastikan bahwa tiap warga rakyat di Indonesia dapat tercukupi kebutuhan pangannya baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pemerintah berkewajiban membentuk seperangkat sistem yang dapat menjamin kecukupan pangan bagi warganya.

Hak atas pangan sesungguhnya tidak hanya berkait dengan persoalan ketersediaan dan cadangan, tetapi soal akses/distribusi, dan konsumsi. Lebih jauh, hak atas pangan juga menyangkut penerimaan secara budaya, kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (kelompok rentan: perempuan; ibu hamil, anak-anak; manula, dan lainnya) dan untuk situasi khusus (rentan: bencana alam; konflik) serta penyadaran tentang gizi. Oleh karenanya, pemenuhan hak atas pangan mensyaratkan adanya sinkronisasi antara kebijakan yang terkait pangan seperti perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dengan pendidikan serta jaminan sosial.

Menurut Islah, ada satu hal yang mengkuatirkan dari kebijakan pemerintah saat ini, yakni paradigma mereka dalam pemenuhan pangan. Pemerintah memakai paradigma "ketahanan pangan" yang cenderung mementingkan ketersediaan pangan tidak peduli dari mana asalnya, siapa dan bagaimana diproduksinya.

“Untuk memenuhi ketersediaan pangan, maka pemerintah berusaha menggenjot produksi dan areal pertanian, tetapi sialnya, pemerintah menyerahkan urusan tersebut pada perusahaan-perusahaan pertanian besar, swasta dan asing (Food estate). Apa dampaknya? Dengan skema food estate, mungkin ketersedian pangan tercukupi namun akses pangan makin jauh dari rakyat, karena harga pangan akan terus mengikuti harga pasar, sementara rakyat miskin di indonesia (petani dengan lahan sempit, buruh dan KMK) tidak mampu mengaksesnya”, lanjut Islah.

Menyikapi kondisi demikian, menurut Ayip, tidak ada jalan lain kecuali mendorong kedaulatan pangan. “Ketahanan dan kemandirian saja tidaklah cukup, diperlukan sikap politik yang kuat sebagai bentuk kedaulatan bangsa ini atas pangan. Tanpa kedaulatan pangan, maka hak atas pangan akan sulit diwujudkan, yang gilirannya justru menjadikan negera ini sebagai bulan-bulanan pasar pangan global”, demikian ungkapnya.

Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, ada empat hal yang semestinya didorong kuat, yakni reforma agraria, perdagangan yang adil, konsumsi pangan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan, menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.*****(Joko Sulistyo)

Baca Selengkapnya..

Walhi Khawatirkan Teknologi Injeksi Chevron Berdampak Lingkungan

JAKARTA : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengkhawatirkan teknologi injeksi bahan kimia yang digunakan Chevron berisiko kepada lingkungan karena menimbulkan pencemaran air tanah."Teknologi injeksi bahan kimia ini berisiko menimbulkan pencemaran air tanah di akuifer setempat," kata Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi, Pius Ginting di Jakarta, Senin.

Produksi minyak Indonesia sebanyak 40 persen berasal dari blok minyak yang dikuasai Chevron di Provinsi Riau yang mencapai 350.000 barel per hari.Dengan teknologi injeksi bahan kimia, perusahaan tersebut menargetkan terjadi kenaikan produksi maksimal 850.000 barel per hari.Teknologi injeksi bahan kimia ke dalam tanah mulai digunakan Chevron pada 2012 untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi minyak.

Di negeri asal Chevron, Amerika Serikat, teknologi injeksi bahan kimia dan air (hidraulic fracturing) sedang mengalami kontroversi.Setelah perusahaan lama membantah adanya dampak pencemaran lingkungan dari teknologi tersebut, pada Desember 2011, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat akhirnya menyimpulkan bahwa bahan-bahan kimia yang dipakai dalam hidraulic fracting di lembah terpencil di Wyoming adalah tampaknya mengakibatkan pencemaran terhadap persediaan air masyarakat lokal setempat.

Dari analisis uji air yang diambil dari sumur monitor akuifer setempat, EPA menemukan bahan kimia sintesis dan cairandari hydraulic fracturing, serta konsentrasi benzene diatas baku mutu Federal Safe Drinking Water Act standard di AS..

Menurut Walhi dan Jatam, penggunaan teknologi injeksi bahan kimia oleh Chevron di Riau disetujui oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (BP Migas) dan Kementerian Lingkungan Hidup.

"Kami mendesak kepada KLH, BP Migas, dan Chevron untuk mengungkapkan kepada publik jumlah bahan kimia yang diinjeksikan, jenis bahan kimia yang dipakai, risiko yang ditimbulkan dan peringatan antisipasi yang diberikan kepada masyarakat yang berpotensi terdampak. Khususnya mereka yang mengkonsumsi air dari sistem air tanah dari lokasi sekitar ladang migas Chevron di Riau," katanya.

Walhi dan Jatam juga mendesak KLH melakukan pemantauan langsung dalam pengambilan sampel air tanah di titik-titik monitor, sehingga tidak hanya mengandalkan laporan periodik Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) perusahaan.

Baca Selengkapnya..

(Walhi) Donasi - Tak Rela Mereka Lapar


WALHI mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan agenda Pulihkan Pertanian Indonesia dari rakyat untuk rakyat, dari kota untuk desa. Pada tahap awal WALHI menggelar Program " TAK RELA MEREKA LAPAR, Wujudkan Kedaulatan Pangan Untuk 100 Desa Miskin". Dalam program ini WALHI mengajak masyarakat untuk berdonasi bagi terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia. Pada tingkat praktis WALHI akan bekerja bagi terwujudnya kedaulatan pangan petani di desa-desa di Kabupaten Sikka NTT, sebuah kabupaten yang mempunyai 85 desa dengan jumlah KK sebanyak 21.592 KK.

Program Donasi ini bersifat reguler dengan besaran donasi yang anda tentukan sendiri dengan pilihan :

Rp. 150.000,-/bulan
Rp. 75.000,-/bulan
Rp. ........./bulan (isikan besar donasi yang anda inginkan)
Tim Relawan WALHI akan mengirimkan Formulir Kesediaan Donasi Reguler ke alamat anda setelah anda mengisi form di bawah ini :

Form Pendaftaran Donasi WALHI Online

Baca Selengkapnya..

Pasukan Brimob Malah Jadi 'Centeng' Perkebunan Sawit

JAKARTA, - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari area perkebunan sawit di beberapa daerah Indonesia.

Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Forkan mengatakan kehadiran aparat Brimob di perkebunan tersebut seringkali hanya menjadi pemicu konflik antara pihak perusahaan dan warga sekitar. "Karena menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi (Brimob) dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Maka jangan heran jika organisasi masyrakat sipil mengategorikan mereka sebagai centeng perusahaan," ujar Berry saat melakukan jumpa pers di Kantor Walhi, Jakarta, Jumat (16/12/2011).

Hadir dalam jumpa pers tersebut sejumlah aliansi masyarakat sipil, di antaranya adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Sawit Watch, Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), dan Serikat Pekerja Indonesia (SPI).

Mereka menyikapi kasus kekerasan di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung. Berry menjelaskan, dalam kasus mesuji, pemicu konflik tersebut adalah karena pihak perusahaan perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga sejak lama. Sedangkan, polisi seringkali ditugaskan oleh pihak perusahaan untuk menjaga perusahaan dari serangan warga yang biasanya melawan karena kasus perampasan tersebut.

"Polisi bukan menjadi pengayom atau sekurangnya hadir disaat ketegangan terjadi, akan tetapi polisi memang telah bermarkas di areal kebun sawit seperti didapati di PT BSMI di Lampung. Kondisi inilah yang telah memperumit situasi. Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru ke arah masyarakat tanpa mengikuti SOP," kata Berry.

Ditambahkan Berry, dalam catatan Walhi pada periode Januari hingga November 2011, kurang lebih 102 kasus tentang pengelolaan sumber daya alam, temasuk sawit, tambang, hutan. Dari 102 kasus tersebut, 123 warga dikriminalkan, 62 orang luka tembak, 26 orang dianiaya, dan sembilan orang meninggal dunia.

"Ini semua dilakukan oleh aparat kepolisian khususnya brimob yang bertugas untuk menjaga lahan perkebunan dan pertambangan. Dan kalau ini tidak segera dihentikan oleh negara, ke depan, potensi konflik akan semakin besar, ribuan orang akan menjadi korban," katanya.

Koordinator KPSHK, M Djauhari, menambahkan, dengan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh aparat tersebut, sudah seharusnya Polri segera menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani di Mesuji.

Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah dapat memberikan pertanggungan atas seluruh biaya yang para korban yang meninggal dan masih dirawat di rumah sakit. "Dan Pemerintah juga wajib memberikan atensi yang lebih untuk petani-petani di Sodong dan Lampung. Kasus aparat kepolisian melakukan kekerasan di daerah perkebunan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Sumatera saja, bahkan hingga ke Papua. Maka dari itu kita keluarkan rekomendasi untuk segera mengeluarkan aparat-aparat kepolisian di perkebunan itu," kata Djauhari. Maka jangan heran jika organisasi masyrakat sipil mengategorikan mereka sebagai centeng perusahaan

walhi.or.id
Baca Selengkapnya..

Hutan Mangrove Disulap Jadi PKS

MEDAN– Sekitar 16.466 hektare (ha) dari 30.506 ha hutan mangrove di Pangkalan Brandan, Langkat kini disulap menjadi perkebunan kelapa sawit (PKS) yang dikuasai PT Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), UD Harapan Sawita dan KUD Murni.

Alih fungsi hutan diduga ilegal dan masyarakat pun meminta Pemprov Sumut mengambil tindakan tegas.Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut Syahrul Isman Manik mengatakan, lebih dari separuh hutan mangrove di Pangakaln Berandan sudah beralih fungsi tanpa mengantongi izin sama sekali.

Hal itu sesuai dengan surat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat tertanggal 29 November 2010 dengan No 522.43053/HUTBUN/2010 yang memberikan peringatan ketiga terhadap tiga perusahaan yang membuka lahan perkebunan di hutan mangrove tanpa izin.

Untuk alih fungsi hutan mangrove yang juga kawasan hutan lindung harus ada izin menteri. Karena itu bicara legalitas ketiga perusahaan (PT PNS, UD Harapan Sawita dan KUD Murni) secara tegas tidak memilikinya sesuai dengan surat peringatan ketiga yang diberikan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat pada 29 November 2010,” kata Syahrul sambil menunjukkan surat peringatan yang ditandaangani langsung oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat Suandi Tarigan, saat berunjuk rasa di Kantor Pemprov Sumut,Jalan Diponegoro, Medan,kemarin.

Senada, Koordinator Aksi Tajruddin Hasibuan menga-takan, hutan mangrove merupakan tempat nelayan mencari nafkah. Selama ada perusahaan perkebunan sawit, hasil tangkapan nelayan semakin terbatas. Karena ikan, udang dan kepah yang biasa berada di paluh sungai kini hilang akibat limbah sawit yang berasal dari pupuk dan hama yang dibuang langsung ke sungai.

Sangkot–sapaan akrab Tajruddin Hasibuan–mengatakan ribuan hektare perkebunan sawit telah membuat benteng di sepanjang Sungai Tanjung Balai dan Sei Babalan Kabupaten Langkat. Sehingga daerah resapan air semakin berkurang dan setiap datang pasang atau hujan perkampungan selalu banjir.Padahal sebelum ada perkebunan sawit, sekitar 2006 lalu, pasang setinggi apapun belum pernah membanjiri perkampungan.

Sangkot memastikan dalam waktu beberapa tahun yang akan datang, beberapa desa yang ada di Pangkalan Brandan danKecamatanBabalanseperti Desa Sungai Bilah,Desa Taman Bunga, Desa Perlis, Desa Tangkahan Batu, Tangkahan Serai,Desa Lubuk Kerkang,dan Desa Klantan akan hilang dari peta karena tenggelam.“Kami minta ekosistem mangrove dikembalikan seperti semula. Karena itu tempat nelayan serta nyawa nelayan dalam mencari nafkah,”tegas Sangkot.

Sedangkan Azhar dari Kesatuan Himpunan Tani Indonesia Region Sumatera meminta Plt Gubernur Sumut, Dinas Kehutanan Sumut dan Poldasu untuk menindak dan menangkap pemilik ketiga perusahan tersebut karena telah menyengsarakan kehidupan nelayan dan merugikan negara. Apabila dalam waktu sebulan Pemprov Sumut dan Poldasu belum mengambil tindakan tegas pada pemilik tiga perkebunan tersebut maka massa akan melakukan tindakan dengan cara sendiri.

“Kami juga meminta ketigas perusahaan tersebut untuk merehabilitasi kawasan mangrove yang telah dirubah fungsinya. Dan buka kembali paluh/anak sungai yang telah ditutup akibat dari pengkonversian ekosistem mangrove,”tandasnya Kepala Biro Perekonomian Bangun Oloan Harahap yang menerima perwakilan dari pengunjuk rasa mengatakan, Pemprov Sumut belum mendapatkan laporan terkait legalitas ketiga perusahaan tersebut dalam membuka lahan sawit di kawasan hutan mangrove.

Karena itu pihaknya belum bisa mengambil tindakan sebelum berkoordinasi dengan pihak terkait dari Dinas Kehutanan maupun Pemerintah Kabupaten Langkat. “Kami akan coba berkomunikasi dulu dengan pihak terkait apakah memang benar ini ada izin atau tidak.Kalau tidak ada izin akan kami cari tahu mengapa bisa terjadi. Begitu juga kalau bisa ada izinnya akan dipertanyakan mengapa bisa dikasi. Jadi kami harap kita sabar menunggunya,”kata Bangun. m rinaldi khair

Baca Selengkapnya..

Selamatkan Dan Pulihkan Sungai Ciujung Dari Pencemaran Limbah PT.Indah Kiat Pulp And Papper


Sudah hampir 20 tahun masyarakat disepanjang sungai ciujung menderita akibat pencemaran limbah industri. sungai yang dulunya telah memberikan penghidupan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat disepanjang sungai Ciujung kini telah dirusak oleh keserakahan penguasa dan pengusaha tanpa mempedulikan nasib jutaan rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sungai Ciujung. Tidak hanya masyarakat di sepanjang sungai saja yang menjadi korban dari pencemaran limbah industri tersebut, tetapi seluruh masyarakat serang utara juga merasakan dampaknya.

Menurunnya kualitas Sungai Ciujung akibat pencemaran berdampak pada masyarakat sejak tahun 1992. Sejak Saat itu produksi ikan petani tambak dan nelayan tangkap mengalami penurunan. pencemaran sungai ciujung tersebut berlangsung hingga saat ini yang mengakibatkan air sungai ciujung berubah warna menjadi kehitaman, berminyak, dan berbau tidak sedap. Kondisi tersebut menyebabkan penderitaan yang dirasakan masyarakat semakin parah. Dimana masyarakat yang kehidupannya tergantung pada air sungai ciujung sudah tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai tersebut. seperti kebutuhan untuk air minum, mandi, cuci pakaian, irigasi pertanian maupun perikanan.. selain itu, dampak yang dirasakan akibat pencemaran sungai ciujung adalah timbulnya penyakit gatal-gatal serta menyebabkan produktifitas pertanian dan perikanan masyarakat semakin menurun. Sehingga banyak masyarakat yang dulunya hidup makmur sebagai petani dan nelayan menjual tanahnya kemudian beralih profesi menjadi buruh pabrik maupun TKI diluar negri.

Adalah PT. Indah Kiat Pulp And Papper yang menjadi biang kerok hancurnya sendi – sendi kehidupan masyarakat di sepanjang sungai ini. Dimana limbah dari perusahaan inilah yang telah mencemari dan meracuni sungai ciujung. Sehingga menimbulkan kerusakan yang begitu parah baik itu dari segi ekologi, ekonomi, maupun social dan budaya masyarakat serang utara.

Dengan melihat kondisi yang memilukan ini maka kami dari Front Kebangkitan Petani dan Nelayan bersama dengan seluruh masyarakat serang utara menuntut kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan PT Indah kiat Pulp and papper sebagai biang kerok pencemaran. Untuk segera :

1.menghentikan meracuni sungai ciujung dan menyengsarakan rakyat

2.pulihkan sungai ciujung dari pencemaran limbah.

3.menolak perpanjangan izin PT Indah Kiat Pulp and Papper yang telah nyata meracuni rakyat.

Jika ketiga hal ini tidak di penuhi, maka kami menganggap ini sebagai pengkhianatan pemerintah terhadap rakyat bahkan sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan.

“Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan”

FKPN(front Kebangkitan Petani Dan Nelayan)

Baca Selengkapnya..

Pemprov DKI Jakarta Tidak Bernyali dan Diskriminasi Dalam Eksekusi Menara Ilegal

Menara telekomunikasi seluler (BTS) illegal yang berada di Jl. Bunga Mayang III
RT 02/01 Kelurahan Bintaro Pesanggrahan Jakarta Selatan yang berdiri sejak tahun 2002 masih belum juga dieksekusi bongkar oleh Pemda DKI Jakarta.

Sesungguhnya penertiban eksekusi menara ilegal tersebut telah memiliki dasar hukum yang kuat, dan tidak dapat diintervensi atau ditunda oleh upaya/ cara apapun, mengingat telah diterbitkannya surat-surat tindakan penertiban, yaitu:

1.Surat Perintah Penghentian Pemanfaatan (SP4) (No: 817/SP4/S/2011) tertanggal 16 Agustus 2011, oleh Sudin P2B Jakarta Selatan, ditujukan ke pemilik menara

2.Surat Segel (No, 817/SP/S/2011) tertanggal 18 Agustus 2011, oleh Sudin P2B Jakarta Selatan, ditujukan ke pemilik menara. Segel besar (papan segel) mulai terpasang dilokasi pada tanggal 12 September 2011.

3.Surat Perintah Bongkar (SPB) dalam SK Kepala Sudin P2B Jakarta Selatan No. 722/1.785.2/SPB/S/2011 tertanggal 12 September 2011 tentang Pelaksanaan Pembongkaran, yang sudah diterima pemilik menara tanggal 14 September 2011.

4.Surat Sekretaris Daerah DKI Jakarta kepada Walikota Jakarta Selatan No. 156/-1.817 tanggal 27 Januari 2012 berisi perintah melaksanakan penertiban menara BTS tersebut.

Menara BTS berbentuk rangka tersebut mendapat penolakan keras dari warga disekitar karena keberadaannya telah meresahkan dan mengancam keselamatan jiwa raga dan harta benda serta kemudian sejumlah dokumen bangunannya diketahui cacat hukum.

Masyarakat sekitar menara ilegal yang dipimpin langsung oleh ketua RT dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam forum warga bunga mayang, telah mempermasalahkan kasus tersebut kepada pihak terkait dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota, provinsi hingga pemerintah pusat, termasuk lembaga legislatif.

Menara yang berdiri sejak tahun 2002 tersebut, diketahui tidak memiliki persetujuan yang sah dari warga disekitarnya dan tidak memiliki izin Amdal atau UKL/UPL, serta melanggar tata ruang karena bangunan berdiri atas nama dua perusahaan yang berbeda dengan koordinat gambar dan lokasi RT yang berbeda pula, sesuai Titik Lokasi/Tata Letak Bangunan (TLB) No. 322/S/PPSK/DTR/I/10 dan No. 145/S/PPSK/DTR/III/2011 dari Dinas Tata Ruang Prov. DKI Jakarta.

Selain itu bangunan tersebut diketahui memiliki dokumen persetujuan warga yang diduga mengandung keterangan palsu dimana dokumen tersebut diduga terkait dengan nama pemegang IMB No. 12879/IMB/08 tanggal 3 Desember 2008 dan IMB No. 6089/IMB/2010 tanggal 25 Mei 2010 yang sudah daluarsa sejak Mei 2011 dan sudah tidak diperbaharui lagi. Diketahui pula bangunan tersebut memiliki izin bangunan menara telekomunikasi Surat Keterangan Membangun No. 71/KM/S/2005 tanggal 6 Juni 2005 dari Kepala Sudin P2B Jakarta Selatan yang bersifat sementara 3 tahun dan berakhir tanggal 6 Juni 2008 dan belakangan diketahui bahwa nomor tersebut tidak terdapat dalam Buku Besar P2B karena untuk nomor tersebut adalah izin untuk Pos Jaga di daerah Tebet.

Namun ada upaya untuk menghambat eksekusi pembongkaran tersebut diantaranya dengan mengajukan gugatan terhadap Kepala Suku Dinas P2B Jakarta Selatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 214/G/2011/PTUN.Jkt. dengan obyek SPB yang diterbitkan Kepala Sudin P2B Jakarta Selatan tersebut. Selain itu pada tanggal 23 April 2012 salah seorang pejabat Dinas Tata Ruang Pemprov. DKI Jakarta memberi kesaksian dalam sidang PTUN untuk kepentingan pihak swasta pemilik menara selaku penggugat. Selama proses pemeriksaan dan persidangan semua fakta mengenai status perijinan berikut dokumen persyaratan perijinan menara BTS tersebut sudah terungkap dengan terang benderang.

Sesungguhnya sehubungan permasalahan yang dihadapi warga tersebut sejumlah pejabat Pemda DKI Jakarta telah memberikan dukungan kepada warga. Gubernur DKI Jakarta dalam nota dinasnya kepada Walikota Jakarta Selatan tanggal 27/28 Desember 2011 menyampaikan “persetujuan warga = menentukan”. Asisten Pemerintahan Sekretaris Kota Jakarta Selatan, Drs. Erpawandi, tanggal 8 Maret 2012 kepada perwakilan dan WALHI Jakarta berjanji memastikan penegakan hukum eksekusi pembongkaran menara BTS ilegal oleh Pemkot Jakarta Selatan dan berjanji segera mengadakan persiapan teknis pembongkaran.

Komisi A DPRD DKI Jakarta melalui Wakil Ketua Komisi A, H. Lucky P. Sastrawiria, SE, MBA, sangat mendukung perjuangan warga dengan segera menyerahkan pengaduan menara BTS illegal tersebut langsung kepada Kepala Satpol PP Pemprov DKI Jakarta dalam rapat kerja bersama pertengahan Maret 2012 untuk segera ditindaklanjuti dan ditangani, dan Kepala Satpol PP Pemprov. DKI Jakarta, Drs. Effendi Anas, tanggal 16 Maret 2012 kepada perwakilan warga berjanji pula segera menindaklanjuti dan menangani hal yang menjadi pengaduan warga sekitar.

Upaya penertiban bangunan illegal oleh Pemda DKI Jakarta seyogianya tidak tebang pilih atau diskriminasi dengan hanya berlaku pada masyarakat miskin atau kelompok marjinal (pemukiman/ PKL), namun tidak tegas jika menyentuh kekuatan tertentu. Pemprov. DKI Jakarta sebagai barometer pemerintahan daerah di Indonesia sepatutnya memberi teladan utama dalam melaksanakan penegakan hukum atas setiap pelanggaran Peraturan Daerah tanpa takut diintervensi dengan cara apapun oleh “suatu kekuatan” atau “kelompok kekuatan” tertentu, apalagi hal itu mengorbankan ketenteraman dan keselamatan masyarakat setempat.

Atas dasar itu dan dengan semangat mendukung tata kelola pemerintahan yang baik, maka kami warga Jl. Bunga Mayang Kel. Bintaro Jakarta Selatan bersama WALHI Jakarta, Imparsial, YLBHI dan Masyarakat Pemantau Peradilan, mendesak dan menuntut kepada:

1.Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Selatan, agar segera mengeksekusi pembongkaran menara BTS illegal dan menindak tegas aparat bawahannya yang melakukan pelanggaran peraturan disiplin PNS ataupun yang tidak menjalankan tugas pokok organisasi daerah dan fungsinya dengan sebagaimana mestinya, sehubungan dengan perijinan menara BTS illegal tersebut dan/atau tidak segera dibongkarnya menara tersebut.

2.Inspektorat Pemprov. DKI Jakarta agar melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penertiban menara BTS illegal tersebut serta melakukan pemeriksaan dan pengusutan apabila terjadi penyimpangan oleh pegawai Pemda DKI Jakarta sehubungan dengan perijinan menara BTS illegal tersebut dan/atau tidak segera dibongkarnya menara tersebut.

3.Majelis Hakim perkara PTUN No. 214/G/2011/PTUN.Jkt., agar dalam memeriksa dan memutus perkara berlaku konsisten dan teguh menjalankan 10 prinsip pedoman hakim dengan melihat dan memperhatikan semua fakta-fakta yang ada secara komprehensif dan menyeluruh.

4.DPRD DKI Jakarta, agar menjalankan fungsi pengawasan dan melakukan intervensi penegakkan hukum terhadap menara BTS Ilegal.

5.Seluruh masyarakat untuk memantau dan mendukung upaya penegakkan hukum dan eksekusi pembongkaran menara BTS “Ilegal”.

Demikian tuntutan ini kami sampaikan kepada rekan-rekan media sebagai upaya kami untuk mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta terciptanya kerukunan sosial budaya dan kearifan setempat.

Jakarta, 25 Mei 2012Forum Warga Bunga Mayang – WALHI Jakarta – Imparsial – YBLHI – MPP

Contact Person:

∙Achmad Hilman - Warga Bunga Mayang∙

IP Sihombing - Warga Bunga Mayang

H.Syafriel Rusli - Warga Bunga Mayang

Arie KM Suhardiadi - Warga Bunga Mayang

Rusdi Marpaung - Imparsial

Ubaidillah - Walhi Jakarta

Baca Selengkapnya..

Walhi : Semoga Anda tidak “Apatis” dengan Kasus Lingkungan

MANADO – Pergantian Kapolda Sulawesi Utara semoga membawa angin segar bagi sengketa-sengketa agraria dan konflik sumber daya alam di Sulawesi Utara. Walhi Sulut menghimbau agar Bapak Brigjend. Dicky D. Atatoy sebagai Kapolda Sulut yang baru kemudian tidak “Apatis“ dengan persoalan-persoalan lingkungan hidup yang telah dilaporkan oleh Walhi Sulut pada masa tugas Kapolda sebelumnya.

“Tentu benar yang disampaikan Bapak Kapolri Jendral Timur Pradopo bahwa memberantas premanisme adalah menjadi target pihak kepolisian saat ini, namun Walhi Sulut juga mengingatkan bahwa sistem premanisme juga sejak lama telah merambah ke persoalan-persoalan lingkungan dan konflik sumber daya alam,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sulut, Edo Rachman.

Tidak sedikit para pengusaha yang berinvestasi di usaha pengelolaan sumber daya alam menggunakan preman-preman untuk kemudian melakukan intimidasi terhadap masyarakat, bahkan menggunakan aparat penegak hukum untuk kemudian membantu mengamankan proses dan aktifitas pengelolaan. Menurut kami, itu juga harus menjadi target utama bapak Kapolda yang baru jika ingin mendapat report kinerja yang lebih baik dari Kapolda sebelumnya.

Penyelesaian kasus-kasus lingkungan dan konflik sumber daya alam harus di dudukkan dalam konteks penegakan hukum yang berlaku, bukan kemudian mendudukkan kasus tersebut pada pesoalan penting atau tidak penting. Pihak kepolisian harus kembali ke kode etik kepolisian yang menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, bukan justru terindikasi berpihak kepada pemerintah, sehingga persoalan-persoalan lingkungan dan kasus-kasus sumber daya alam di Sulut bisa diselesaikan dengan aturan hukum yang berlaku di Indoensia.

Pihak kepolisian semestinya tidak mengabaikan hak-hak rakyat atas lingkungan dan sumber daya alam yang kemudian menjadi persoalan atau kasus yang dilaporkan ke pihak kepolisian. Kasus lingkungan dan konflik sumber daya alam yang dilaporkan oleh Walhi Sulut ke pihak Polda Sulut adalah bagian dari hak-hak rakyat atas lingkungan yang bersih dan sehat serta hak untuk hidup dari sumber daya alam tersebut, sehingga sangat penting untuk segera mendapatkan tindak-lanjut dari pihak Polda Sulut dalam rangka penyelesaian kasus-kasus tersebut. Tentu menjadi harapan kita semua dengan kepemimpinan Kapolda yang baru untuk dapat menindak-lanjuti penyelesaian kasus-kasus lingkungan dan konflik sumber daya alam yang ada di Sulawesi Utara. (is)

walhi.or.id
Baca Selengkapnya..

HATAM (Hari Anti Tambang) 2012

SERUAN AKSI

KEPADA SELURUH SIMPUL-SIMPUL JATAM SERTA SELURUH MASYARAKAT ATAU RAKYAT INDONESIA PADA TANGGAL 29 MEI 2012

Indonesia Berdaulat Tanpa Tambang

Pulihkan Hak Rakyat, Lawan Pembodohan & Lupa

Tercatat 16 lokasi berbeda selain Jakarta melakukan aksi “Hari Anti Tambang” atau “HATAM” yang diperingati pada 29 Mei. Beragam cara dilakukan masing-masing lokasi untuk menunjukkan penolakan terhadap industri pertambangan dan solidaritas terhadap korban lumpur Lapindo. Di Jambi, Bangka Belitung, Aceh, Palembang, Bengkulu, Mandailing Natal, Bandar Lampung, Sidoarjo, Samarinda, Kalimantan Tengah, Pulau Obi dan Gorontalo turun ke jalan melakukan aksi dan teatrikal, bahkan di Kalimantan Selatan menaiki Tongkang untuk membentangkan spanduk HATAM. Sedangkan di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, selain aksi juga melakukan mimbar bebas. Lalu di Sumba warga menduduki lokasi pengeboran perusahaan dan di Sorong mengadakan dialog terbuka. Di Yogyakarta, aksinya dilakukan dengan mengajak publik menyampaikan solidaritasnya dengan papan tulis.

Semua aksi itu, perwujudan solidaritas dan perlawanan dari berbagai kalangan atas ketidakadilan industri tambang. Ketidakadilan itu terus berlangsung walau rezim penguasa telah silih berganti. Bahkan, rezim SBY semakin telanjang menunjukkan otoriternya dengan cara kekerasan yang menggunakan alat keamanan negara. Sikap itu seolah melawan arus penolakan warga terhadap industri tambang. Rakyat dibiarkan ditembaki, dipukuli hingga dikriminalkan oleh aparat keamanan dan perusahaan tambang. DI Mandailing Natal Sumatera Utara, Di Tiaka Sulawesi Tengah, di Timika Papua, hingga di Pelabuhan Sape Nusa Tenggara Barat, dengan mudah aparat menembaki warga. Termasuk di Sumba dan Manggarai warga dijebloskan ke penjara karena menolak dan menuntut perusahaan tambang pergi. Itu semua terjadi di Sepanjang tahun 2011 lalu.

Ironisnya, tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah seperti gelap mata dan tak punya telinga, justru semakin membabi buta mengeluarkan izin pertambangan. Selain Kontrak Karya dan PKP2B, hingga April 2012 telah ada 10.235 IUP di seluruh Indonesia. Namun, hanya 4.151 yang dinyatakan kategori clean & clear secara administratif oleh Dirjen Minerbapabum.

Kejadian kekerasan, pemiskinan hingga kriminalisasi akan terus berulang, karena pemerintah justru tak berhenti mengeluarkan izin dan tetap mengutamakan industri pertambangan sebagai primadona pembangunan. Nyata-nyata telah terbukti industri tambang hanyalah menguntungkan segelintir orang dan sebagai kasir politisi yang tunduk oleh kekuatan modal tersebut.

Indonesia harus berdaulat atas segala yang ada di wilayah kesatuan Republik Indonesia. Kedaulatan mutlak dilakukan dengan melepas industri tambang bukan sebagai pilihan utama dan menjadikannya sebagai sejarah kelam pembangunan bangsa.

Kami mengajak berbagai elemen bangsa yang peduli dan prihatin dengan kesadarannya melakukan aksi peringatan hari anti tambang 29 Mei 2012. “Pulihkan Hak Rakyat, Lawan Pembodohan dan Lupa”, inilah tema yang JATAM usung, mengingat kasus perampasan hak rakyat dan kekerasan serta kriminalisasi warga setahun terakhir ini terjadi, terutama kasus lumpur Lapindo yang semakin memperlihatkan ketidak pedulian rezim SBY.


Kampanye Hantam 2012

Apa itu HATAM ?

Hari Anti Tambang atau di singkat HATAM adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010. HATAM diperingati setiap 29 Mei. Dan bulan Mei adalah bulan perlawanan terhadap industri tambang. 29 Mei 2006 adalah Tragedi besar lumpur Lapindo kali pertama menyembur yang tak akan dilupakan.

Apa yang kita lakukan?

Segenap simpul-simpul JATAM pada bulan Mei 2012 ini akan mengelar rangkaian kegiatan yang intinya melawan terhadap daya rusak tambang.Puncaknya pada tanggal 29 Mei 2012 setidaknya ada 33 Simpul-Simpul JATAM yang mengelar AKSI. Hari itu juga sebagai penyampaian deklarasiberdaulat tanpa tambang dengan menjadikan tambang sebagai sejarah.

Dukungan solidaritas dapat dilakukan dengan kirimkan sms kepada Presiden, Ketua DPR dan Menteri ESDM, atau kirimkan Pesan anda kepada JATAM dengan Format ketik : JATAM«spasi»PESAN ANDA kirim ke 0812-1552-5506

BERDAULAT TANPA TAMBANG

DENGAN MENJADIKAN TAMBANG SEBAGAI SEJARAH

Deklarasi Cisarua 6 Mei 2011

Kami, perwakilan masyarakat – perempuan dan laki-laki dari Papua hingga Aceh yang tinggal di ruang hidup kami yang akan dan telah dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan tambang, telah berkumpul untuk membahas dan memikirkan masa depan kami. Kami menyadari perluasan ekpansi modal makin mengancam penghidupan kami yang tidak lagi dilindungi oleh pengurus negeri.

Kami telah menyaksikan bagaimana PT Freeport/Rio Tinto di Papua dibiarkan melanggar standar-standar nasional maupun internasional untuk mengeruk emas dengan mewariskan limbah tailing terbanyak di dunia. Demikian pula laut Sumbawa yang dirusak lewat pembuangan tailing ke laut (submarine tailing disposal) oleh PT Newmont. Juga, lebih 1000 lubang-lubang tambang Timah di Bangka Belitung. Tak hanya itu, Indonesia segera memposisikan dirinya menjadi penghasil batubara terbesar di dunia, di atas penghancuran dan pemiskinan warga di pulau Kalimantan. Pengurus negeri telah mendorong Indonesia memasok kebutuhan besi China dengan merusak kawasan-kawasan pesisir Jawa, Sumatera dan Flores. Negeri ini pun pemasok Nikel dengan merusak kawasan pulau Sulawesi dan Maluku Utara oleh PT Vale Inco dan Antam, akan bertambah bersamaan dibukanya tambang Eramet dan Rio Tinto. Itu ditambah segera menjadi pemasok Mangan penting untk China dengan menghancurkan pulau Flores, Timor dan pulau-pulau lainnya. Serta, tidak mungkin dilupakan, lebih 100 ribu warga yang terlantar karena pengeboran minyak oleh PT Lapindo Brantas Inc.

Pengerukan bahan tambang yang rakus air, lahan dan energi selalu melibatkan kekuasaan, sangat nyata menjadi mesin penghancur yang serakah. Kebijakan pertambangan yang makin longgar telah membuat Indonesia menjadi kawasan target utama ekplorasi tambang di Asia Tenggara. Naiknya permintaan materi dan energi dari India, China, Jepang, Korea, Australia dan Eropa telah mengkerutkan ruang penghidupan warga di kawasan-kawasan industri tambang beroperasi.

Di dalam negeri, lancarnya pengerukan dari ruang-ruang hidup rakyat oleh rezim pengurusan negara mempercepat kerusakan lingkungan, atas nama pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya:

Kami meyakini keserakahan kapitalis ekstraktif yang tidak terbatas itu harus dihentikan karena pada kenyataannya kita hidup di dunia yang serba terbatas.

Kami meyakini sudah saatnya segala ekstraksi materi dan energi dibatasi untuk sebesar-besarnya pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.

Kami meyakini tindakan mempertinggi derajat keselamatan dan keamanan rakyat, daya pulih produktifitas rakyat, serta keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai agenda utama. Oleh karenya penyelamatan kawasan-kawasan warga dan penopang hidup yang telah dan segera dihancurkan oleh industri pertambangan harus menjadi agenda prioritas penyelamatan dalam skala lokal, nasional dan internasional.

Kami pun meyakini gerakan penyelamatan kehidupan dari penghancuran industri tambang harusnya melibatkan makin banyak elemen masyarakat yang lebih masif dan mondial.

Kami menyakini upaya penyelamatan kehidupan dari penghancuran industri tambang tak hanya bertujuan menegakkan keadilan tetapi juga menjaga ciptaan Yang Maha Esa.

Atas kesaksian dan keyakinan itu, kami menyatakan akan menghentikan seluruh operasi tambang di dunia hingga sektor-sektor publik menjamin keselamatan dan keamanan rakyat, produktivitas dan daya pulih rakyat serta keberlanjutan fungsi-fungsi layanan alam.

Cisarua, 6 Mei 2010

walhi.or.id
Baca Selengkapnya..

Kampanye Nasional "Diet Kantong Plastik"


Kantong plastik atau tas plastik adalah kantong pembungkus yang dibuat dari plastik (poliolefin atau polivinil klorida). Kantong plastik digunakan untuk memuat dan membawa barang konsumsi. Sejak ditemukannya bahan baku plastik pada abad ke 19 penggunaan plastik sebagai bahan pendukung aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup secara terus menerus dikembangkan. Penggunaan plastic mewarnai hampir di setiap lini kehidupan. Mulai dari matrial pendukung alat berat seperti kendaraan sampai dengan matrial pendukung yang paling sederhana seperti kantong plastik.

Dapat dibayangkan setiap orang yang tinggal di Jakarta rata-rata menghasilkan sampah 0,8Kg/hari di kali dengan jumlah warga DKI Jakarta dan sekitarnya rata-rata mencapai 8500 Juta Jiwa (data penduduk tetap DKI Jakarta yang memiliki dan yang tidak memiliki KTP), dari jumlah sampah per hari tersebut di kali dengan jumlah penduduk, maka jumlah sampah per hari DKI Jakarta mencapai 6.800 ton/hari. Dengan tidak terkendalinya permasalahan sampah serta penggunaan plastik sebagai matrial pendukung kehidupan telah menyebabkan jumlah Sampah plastik yang bertebaran di mana-mana, merusak pemandangan, menyebabkan drainase tersumbat sampai dengan mengeluarkan racun yang membahayakan kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Diet Kantong Plastik adalah sebuah kampanye untuk mengajak masyarakat bijak dalam menggunakan kantong plastik, agar timbunan sampah plastik dapat berkurang. Sebagai bentuk dari kelanjutan program Diet Kantong Plastik (DKP) yang telah dijalankan sejak tahun 2010, di tahun 2012 ini Greenaration Indonesia membuat aksi masal untuk melanjutkan kampanye pengurangan penggunaan kantong plastik. Aksi ini diberi nama 'HEADBAG Mob' dengan cara yang menyenangkan dan menarik.

HEADBAG Mob akan dilakukan di 7 kota yang pada kali ini akan dilakukan di Jakarta pada Minggu 27 Mei 2012, bertempat di Panggung Utama acara HBKB (Hari Bebas kendaraan Bermotor – car free day) pada pukul 06.30 - 08.30 WIB. Dalam aksi ini, mengajak masyarakat untuk menukarkan dua buah kresek dengan satu baGoes, produk tas pakai ulang Greeneration Indonesia, yang akan dihias/digambar secara bebas. baGoes yang telah digambar akan dikenakan di kepala masing-masing lalu secara beramai-ramai melakukan konvoi (long-march) start dari panggung utama menuju Bundaran HI lalu kembali lagi Menuju panggung utama HBKB. Aksi konvoi dengan mengenakan baGoes di kepala merupakan simbolisasi dari 'pembenaman' pemikiran pada setiap orang untuk membawa tas belanja sendiri, karena dari riset yang telah dilakukan oleh GI pada tahun 2009, sebanyak 73% masyarakat telah memiliki tas yang dapat digunakan berulang kali sebagai pengganti kantong plastik, namun 79% dari mereka tidak membawanya pada saat berbelanja. Alasan mereka tidak membawa tas belanja tersebut 63% Lupa dan 15% Malas.

Sedang, kantong kresek yang terkumpul akan dijadikan sebuah instalasi untuk memperlihatkan banyaknya jumlah sampah plastik yang dibuang ke lingkungan. Menurut riset yang GI lakukan di tahun yang sama 1 Orang / tahun menghasilkan sampah 700 kantong plastik. Harapan dari aksi ini adalah terciptanya perilaku bijak dalam menggunakan tas pakai ulang (reusable bag) agar jumlah sampah plastik yang dihasilkan dapat berkurang secara signifikan.

Aksi ini terlaksana atas kerja sama :

Greeneration Indonesia, Green Student Movement – WALHI Jakarta, Eksekutif Nasional WALHI dan komunitas Earth Hour Indonesia. HEADBAG Mob juga didukung oleh Maicih #1coin1leaf, Yahoo Indonesia, J&C Cookies, E-Idea Competition British Council & LRQA, Green Radio, House The House, dan Pers Trisakti LPM-KJB.

walhi.or.id

Baca Selengkapnya..

Akankah Hak Veto (Kedaulatan) Rakyat atas Ruang Hidup Ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi?


Jakarta (31 Mei 2012) Setelah menunggu lebih dari setahun, akhirnya Mahkamah Konstitusi memanggil pemohon Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembacaan keputusan. Sidang putusan dijawalkan pada 4 Juni 2012. Permohonan uji materi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara dimohonkan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam wilayah pertambangan, yakni masyarakat dari Kulonprogro, Likupang-Sulawesi Utara, Seluma-Bengkulu dan Papua Barat.

Uji materi ini adalah upaya untuk wujudkan adanya pengakuan hak veto (kedaulatan atas ruang hidup) rakyat dari rencana penetapan wilayah pertambangan, dan upaya menghilangkan ancaman kriminalisasi terhadap siapa saja yang perjuangkan lingkungan dan hak lainnya manakala berhadapan dengan perusahaan tambang.

Para pemohon menilai, UU Pertambangan Mineral dan Batubara mengakui hak rakyat atas ruang hidupnya secara semu. Hak hidup ruang rakyat belum diakui secara tegas sehingga membuka pintu bagi kekuasaan pemerintah menetapkan wilayah pertambangan secara sepihak. Pasal 9 dan 10 dalam prosedur penetapan wilayah pertambangan menyatakan proses penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara partisipatif dan memperhatikan aspirasi daerah. Hal ini masih semu ini, kurang tegas, sehingga ketentuan pelaksaanaan partisipatif dan memperhatikan aspirasi warga menjadi hilang sama sekali dalam aturan pelaksanaannya, yakni dalam Peraturan Pemerintah No 22 tentang Wilayah Pertambangan.

WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar hal “partisipasi dan memperhatikan aspirasi warga” dimaknai bahwa dalam proses penetapan wilayah pertambangan harus ada persetujuan atau ketidakpersetujuan tertulis terlebih dahulu dari rakyat yang terdampak negatif.

Seluruh wilayah pertambangan Indonesia saat ini sarat konflik dengan masyarakat sekitar. Empat orang warga Desa Gendoang, Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, sedang diproses di Kejaksaan di Jawa Barat terkait dengan penolakan tambang galian pasir di dekat perumahan mereka. Lubang-lubang tambang tersebut berbahaya bagi anak-anak dan pemukiman perumahan jadi rentan longsor. Tidak adilnya, empat warga Desa Gendoang sedang dikriminalisasi dengan dalih mengganggu ketertiban umum oleh Polda Jawa Barat.

Yang lainnya, Tukijo, warga Kulonprogo. Dia mempertahankan lahan pertanian dari rencana penambangan pasir besi dari Australia. Tidak adilnya, dia kini sedang dipenjara karena perjuangannya.

Pada 3 Mei tahun 2012, tiga petani Pulau Sumba NTT, yakni Umbu Mehang, Umbu Janji dan Umbu Pindingara dihukum sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Waikabubak-NTT karena perjuangan mereka menolak tambang emas PT.Fathi Resources dikawasan hutan. Kawasan hutan ini penting bagi kehidupan mereka sebagai sumber air dan kesuburan bagi pertanian.

Masyarakat sekitar Teluk Tomori-Teluk Tolo, Morowali menyaksikan geram warna biru laut teluk mereka mereka berubah jadi merah. Bupati Morowali keluarkan puluhan ijin pertambangan nikel di kawasan hutan sekitarnya. Dampaknya, 200 orang warga kota kecil Kolonodale terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit.

Masyarakat Kota Gorontalo dan sekitarnya kian cemas karena wilayah taman Nasional Nani Wartabone dialihkan menjadi kawasan pertambangan. Bajir setinggi pinggang orang dewasa kala musim hujan kian mengancam.

Kehadiran pertambangan nikel di kawasan hutan Weda, Halmahera Tengah telah menutup akses petani akan hasil hutan seperti pala, sagu. Ruang hidup warga terancam tebaran debu nikel yang karsinogen dan rusaknya hutan sebagai sumber air dan bahan pangan. Didirikannya markas Brimob di dalam kawasan tambang menyebabkan potensi pelanggaran HAM senantiasa terjadi sejak Weda Bay Nickel masuk ke ruang hidup warga.

Kriminalisasi terhadap warga yang protes terhadap perusahaan tambang dimungkinkan oleh ketentuan pasal 162. Karenanya, pasal ini dimohon untuk dinyatakan tak berlaku. Komnas HAM mendukung upaya uji materi atas pasal-pasal yang dimohonkan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat sekitar tambang. Karenanya, lembaga tersebut memberikan keterangan tertulis bagi persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Apakah Mahkamah Konstitusi mampu keluarkan putusan yang memutus rangkaian kekerasan, pelanggaran HAM, penyingkiran masyarakat setempat oleh wilayah pertambangan? Apakah kedaulatan (veto) rakyat atas ruang hidup akhirnya ditegakkan? Kita lihat keputusan MK pada tanggal 4 Juni mendatang.

Kontak media:

Asep Yunan Firdaus, Tim Advokasi Hak Atas Lingkungan,08158791019, ay_firdaus[at]yahoo.co.id
Pius Ginting, Manajer Kampanye Bidang Tambang dan Energi, 081932925700, pius.ginting[at]gmail.com
Andrie Wijaya, Kordinator Jatam, andrie[at]jatam.org, 08129459623

walhi.or.id

Baca Selengkapnya..

Warga Diduga Dihasut Tolak Perluasan Taman Nasional di Riau

Pekanbaru - Oknum aparat dan cukong kebun sawit diduga memprovokasi warga untuk menolak perluasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Pemerintah diminta untuk tetap melanjutkan pembuatan parit gajah sebagai batas wilayah kawasan taman.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Hariansyah Usman mengungkapkan hal itu dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat (16/9/2011) di Pekanbaru. Menurut Kaka begitu sapaan akrabnya, baru-baru ini ada mobilisi ribuan warga ke Kantor Bupati Pelalawan, Riau menolak rencana pembuatan parit batas taman nasional.Dari dulu memang perluasan taman selalu mendapat penentangan. Kuat dugaan mobilisasi itu justru dilakukan para cukung perkebunan sawit. Malah pejabat teras di Pemkab Pelalawan juga turut andil. Para cukong dan oknum itu punya kepentingan agar kebun sawit mereka tetap aman di kawasan taman nasional itu," kata Kaka.

Kaka mengklaim kondisi TNTN sejak dulu sudah dirambah para cukong dan oknum aparat yang memperalat masyarakat. Mereka menjarah kawasan hutan sebagai koservasi gajah untuk perkebunan sawit."Pemerintah harus mengusut tuntas siapa cukong dan oknum aparat yang memiliki lahan di sana. Sebenarnya kalau pemerintah mau, dengan jelas kok siapa saja pemilik lahan di dalam kawasan taman," kata Kaka.

Sebagaimana diketahui, hutan Teso Nilo dijadikan kawasan taman nasional pada tahun 2004 lalu dengan luas sekitar 38 ribu hektar. Selanjutnya pada tahun 2009 pemerintah pusat dan daerah sepakat kawasan TNTN diperluas menjadi 80 ribu hektar. Dari dulu kawasan tersebut merupakan hutan milik pemerintah.Namun menurut Kaka, para cukong dan oknum aparat merambah kawasan hutan itu untuk dijadikan perkebunan sawit. Masyarakat selalu dikedepankan untuk menentang kebijakan pemerintah dalam perluasan TNTN tersebut. Padahal status masyarakat yang mengusai lahan tersebut sudah jelas illegal.

Kawasan TNTN merupakan salah satu kantong gajah Sumatera di dataran rendah yang ada di Riau. Sejak dulu habitat gajah terus dijarah masyarakat yang diduga disponsori cukong dan oknum aparat tersebut. Akibat ulah mereka, kawasan konservasi gajah itu benar-benar terancam. Perluasan kebun sawit di dalam kawasan taman semakin meluas. Itu sebabnya, agar pencaplokan lahan tidak terus terjadi pemerintah akan menggali lubang sebagai pembatas kawasan taman tersebut.

walhi.or.i

Baca Selengkapnya..

Wednesday, May 30, 2012

Trik mengoptimalkan fungsi kamar tidur dengan feng shui.

Jadikan kamar tidur kita menjadi tempat beristirahat yang nyaman, sekaligus menciptakan keharmonisan dalam keluarga dengan peranan ilmu feng shui.

“Menerapkan prinsip feng shui secara benar akan membuat sebuah bangunan terasa lebih nyaman, “ ujar Linda Kusuma Kho, ahli feng shui. Agar kita bisa beristirahat dan memiliki kualitas hubungan seks yang baik, kita harus memiliki warna ruangan dan tata letak perabot yang benar. Tip : hindari meletakkan barang-barang yang berhubungan dengan pekerjaan di dalam kamar, seperti komputer, dokumen, dan ponsel.

Mari tingkatkan energi positif dalam kamar tidur kita dengan memperhatikan 3 hal penting berikut.

# Tempat tidur.

Jangan posisikan kasur kita menghadap pintu kamar ataupun pintu kamar mandi.
Pilihlah tempat tidur dari bahan kayu ketimbang yang terbuat dari logam, agar aman dari jangkauan listrik.
Pastikan kita memiliki jendela yang besar yang mampu mengatur sirkulasi udara di dalam kamar dengan baik.
Sandarkan kepala tempat tidur pada tembok, alih-alih jendela.
Letakkan dua meja kecil di masing-masing sisi tempat tidur, jangan di satu sisi saja.
# Pencahayaan.

Agar istirahat lebih maksimal, pilihlah lampu dengan pencahayaan yang tak terlalu terang, tapi juga tak redup. Selama tidak mencolok, kita juga boleh memilih lampu berwarna.
Pilihan alternatif pencahayaan lain yang bisa kita gunakan adalah lilin. Pastikan lilin yang kita beli telah bebas dari bahan beracun.
Manfaatkan cahaya matahari untuk menerangi kamar di siang hari, dan cahaya bulan di malam hari.
# Hiasaan dinding.

Timbulkan energi positif dengan memasangkan foto atau lukisan yang bertemakan kebahagiaan atau perdamaian.
Hindari memajang hiasan berisikan gambar air (kolam, air terjun, air mancur) yang dapat membuat kita sedih atau kesepian saat melihatnya. Menurut ahli feng shui, kehadiran unsur air dalam ruang tidur bisa mengganggu tidur, emosi, konsentrasi, bahkan bisa menurunkan kualitas hubungan seks antara kita dan pasangan. (Alian An Nadhiva/Astrid Anastasia)

Baca Selengkapnya..

4 Efek negatif jika satu tempat tidur dengan hewan peliharaan


Kehadiran hewan peliharaan di rumah terbukti bisa memberikan manfaat, baik secara fisik dan psikologis. Dan dengan alasan itu juga, banyak majikan yang menjadi sangat lengket dengan hewan peliharaannya. Bahkan tidak enggan untuk mengajaknya tidur bersama.

“Boleh saja peliharaan masuk ke dalam kamar dan bermain di lantai, namun tidak di tempat tidur,” jelas drh.Parmanto dari situs www.dokterhewanonline.com yang sekaligus pemilik Lavionda Pet Shop di Tanggerang.

Jangan biarkan keintiman kita dengan binatang kesayangan berlanjut hingga ke kasur. Mengapa? Sebab kebiasaan yang dianggap lumrah bagi sebagian orang itu, ternyata dapat berpenggaruh terhadap kesehatan kita, seperti :

1. Kesehatan fisik.
Binatang peliharaan seperti anjing dan kucing dapat membawa parasit tertentu, seperti jamur (ring worm) dan kudis (scabies dan demodex) yang dapat menular ke manusia. Derek Damin of Kentuckiana Allergy, Asthma & Immunology di Louisville menyatakan, hewan dapat memicu risiko kambuhnya asma dan alergi. Oleh karena itu, disarankan bagi para penderita asma yang ingin berdekatan dengan hewan peliharaannya, sebaiknya ia harus divaksin dulu agar tubuhnya lebih kebal. Dan untuk yang memiliki bayi, usahakan agar selalu menjaga kebersihan kamar dan menghidari bayi kita dari kontak langsung ke hewan.

2. Kenyamanan tidur.
Meski beberapa orang bisa merasa nyaman jika tidur ditemani hewan peliharaan, tapi penelitian Dr. John Shepard berkata lain. Dalam penelitiannya direktur medis Mayo Clinic Sleep Disorders Center menemukkan sekitar 22% pasiennya mendapatkan gangguan tidur akibat ada hewan yang tidur persis disampingnya. Lalu apa yang menjadi penyebabnya? Dengkuran dan embusan napas dari si doggie dan kittie membuat udara di kamar menjadi tidak nyaman.

3. Keintiman bersama pasangan.
Terlalu sering membiarkan hewan berada di kamar dan kasur kita, bisa membuat hal ini menjadi sebuah kebiasaan. Ketika hewan peliharaan kita sudah mulai betah, maka sangat sulit bagi kita untuk bisa mengusirnya keluar dari kamar kita. Walhasil, kondisi ini akan membuat kita terganggu ketika ingin menggunakan kamar tersebut untuk aktivitas pribadi.

4. Kebersihan kamar.
Aktivitas hewan peliharaan kita yang gemar mondar mandir ke seluruh penjuru rumah, membuat tubuhnya menjadi sarang menempelnya segala kotoran. Jika kita mengajak mereka untuk tidur bersama, otomatis kotoran yang ada di tubuhnya akan ikut menempel dan mengotori kamar kita.
Tenang saja, melarang hewan naik ke tempat tidur tidak lantas berarti kita tidak sayang dengan mereka. Kita bisa menunjukkan rasa sayang kita kepada hewan dengan cara lain, seperti mengajaknya jalan pagi atau sore hari. (Intan Sari Boenarco /Astrid Anastasia)

Baca Selengkapnya..

Paris Hilton, Diminta Lepaskan 'Baby Luv'


Kapanlagi.com - Paris Hilton tampaknya harus menghadapi pihak perlindungan satwa yang berencana memintanya untuk mengembalikan hewan peliharaannya ke alam bebas, sekaligus menguji rasa cinta Paris terhadap kehidupan satwa yang dilindungi.
Seperti diketahui, hewan peliharaan Paris, yang dinamai Baby Luv, adalah seekor monyet 'kinkajou' yang eksotik, yang didapatnya dalam sebuah perjalanan ke Las Vegas, menggantikan hewan peliharaannya yang terdahulu.

Lisa Lange seorang anggota PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) memberikan komentarnya, "Paris menganggap hewan peliharaannya seperti seorang teman dan kekasih, yang dapat diganti dan disingkirkan kapanpun ia mau."

Sekarang, Paris menghadapi situasi yang agak sulit. Karena, jika ia mematuhi hukum yang berlaku dan menyerahkan hewan peliharaannya itu, tiap orang akan beranggapan, "Ia melakukannya karena monyet itu telah menggigitnya!"

Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Baby Luv telah 'menyerang'-nya, ketika Paris mengajaknya berbelanja ke salah satu butik terkenal di Los Angeles. (sof/bun)

Baca Selengkapnya..

Monday, May 28, 2012

Macan Jawa & Bali sudah Punah. Bagaimana Mencegah Kepunahan Macan Sumatera ?


Sungguh menyedihkan bagi anak bangsa yang termasuk pecinta alam ketika mendengar kabar bahwa Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan sudah punah. Itu berarti kira dan anak cucu kita hanya bisa mendengar cerita dan mendengar kedua jenis binatang tsb melalui buku atau film.

Kini ada lagi berita menyedihkan yang mengatakan bahwa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) juga terancam Punah dalam 5 tahun mendatang. Harimau Sumatra merupakan satu dari lima subspisies harimau (Panthera tigris) di dunia yang masih bertahan hidup.

Hewan dari filum Chordata ini hanya dapat diketemukan di Pulau Sumatera, Indonesia. Populasinya di alam liar diperkirakan tinggal sekitar 300 ekor. Sumber lain (Alamendah’s blog) menyatakan bahwa Harimau Sumatera masih ada sekitar 400 – 500 ekor.

PENYEBAB KEPUNAHAN

Hal-hal yang menjadi penyebab hampir punahnya Harimau Sumatera, khususnya di profinsi Riau menurut Koordinator Monitoring Perdagangan Satwa World Wide Fund (WWF) Riau, Osmantri, di Pekanbaru (Minggu, 7/2/2010), ternyata meliputi dua hal utama (Media Indonesia / Penulis Bagus Himawan: 8/2/2010), yaitu:

1.Habitat yang semakin sempit

Lingkungan hidup atau habitat dari Harimau Sumatera akibat perkembangan kehidupan manusia, semakin lama menjadi semakin kecil. Hal ini terjadi terutama di Propinsi Riau. Ekosistem harimau di Riau saat ini sudah sangat kritis, banyak yang berubah fungsi menjadi perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan permukiman.

Menurut Osmantri, fungsi lahan tersebut membuat hampir 80 persen populasi harimau berkembang di luar kawasan habitatnya. Jika sudah begitu, terjadilah konflik dengan manusia yang bisa berlanjut dengan upaya untuk membunuh harimau tsb. Terbatasnya habitat juga menyebabkan Satwa ini menjadi sulit untuk berkembang biak.

Berdasarkan data dari hasil penelitian WWF Riau, 32 tahun yang lalu, populasi harimau di pulau Sumatra diperkirakan masih sekitar 1000 ekor. Sekarang jumlah harimau yang berhasil diidentifikasi berdasarkan belangnya tinggal 30 ekor saja atau sekitar 10 persen dari 300 ekor jumlah perkiraan populasi satwa liar tersebut di Pulau Sumatera.

Pada 1985, harimau sumatra masih bisa berkembang biak di habitatnya masing-masing. Tapi sejak kelapa sawit dan industri bubur kertas menjadi komiditi yang bernilai ekonomis tinggi, habitat harimau pun porakporanda.

2.Perburuan liar & penegakkan hukum yang lemah

Perburuan harimau yang makin liar oleh sekelompok orang yang hanya memikirkan keuntungan merupakan salah satu penyebab utama Harimau Sumatera terancam kepunahan.

Masalah ini diperberat lagi dengan penegakkan hukum yang masih lemah terhadap para pelakunya. Sejak 1998 hingga 2009, terdata 46 ekor harimau ditemukan mati akibat konflik dengan manusia dan perburuan. Dapat dikatakan bahwa sekitar tujuh ekor harimau mati di Riau setiap tahun.

Ternyata dari puluhan kasus tersebut, hanya tiga kasus saja yang berlanjut hingga di meja pengadilan yakni pada 2001, 2004 dan 2009. Angat disayangkan pengadilan belum memberi efek jera karena vonisnya cuma penjara selama setahun untuk semua pelaku tersebut.

Akibatnya hal ini membuat para pelaku lainnya tetap melakukan perburuan terhadap harimau Sumatra. Kabarnya mereka menggunakan jaringan antarprovinsi yang terjalin sangat rapi dan sulit dilacak.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah ternyata jaringan perdagangan itu kerap dilindungi oleh oknum pemerintah hingga pemodal besar yang bermuara ke Singapura dan Malaysia.

Diperkirakan setidaknya ada 24 pemburu harimau aktif yang menyalurkan hasil buruan ke 34 penampung dari yang kecil hingga penampung besar di Singapura dan Malaysia.

Di Pekanbaru, disinyalir sedikitnya ada sembilan toko emas dan dua toko obat cina yang menjual bagian tubuh harimau dengan leluasa.

SOLUSI

Sedikitnya ada 3 hal yang harus dibangun di dalam upaya mencegah kepunahan Harimau Sumatera yang merupakan aset bagsa ini, yaitu:

1.Peran pemerintah

Kepunahan Harimau Sumatera hanya bisa dilakukan dengan peran aktif yang maksimal dari instansi pemerintah terkait seperti Depertemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan hidup, dan instansi lain yang terkait dengan pembuatan UU atau aturan hukum yang berat dan penegakkan hukum yang tegas serta konsisten terhadap para pemburu liar Harimau Sumatera..

2.Peran serta masyarakat

Untuk mencegah kepunahan Harimau Sumatera ini juga diperlukan peran aktif masyarakat untuk melaporkan keberadaan Harimau Sumatera yang mungkin saja berkeliaran karena habitatnya yang semakin mengecil. Masyarakat juga perlu melaporkan adanya perburuan liar oleh oknum-oknum tertentu terhadap Harimau Sumatera.

3.Pembentukan Pusat Penangkaran Harimau Sumatera

Pemerintah dan mayarakat pencinta binatang / lingkungan hidup perlu memikirkan upaya untuk membangun pusat penangkaran Harimau Sumatera agar hewan ini tidak punah seperti harimau Jawa dan Bali.

Syukurlah saat ini untuk mencegah kepunahan Harimau Sumatera, Taman Safari Indonesia telah ditunjuk oleh 20 kebun binatang didunia sebagai pusat penagkaran Harimau Sumatera, studbook keeper, dan tempat penyimpanan sperma beku (Genome Rescue Bank) untuk Harimau Sumatera.

politikana.com

Baca Selengkapnya..

GREENPEACE MELIHAT HUTAN GAMBUT SEMENANJUNG KAMPAR RUSAK


Formatnews - Pekanbaru (13/2): Kawasan hutan gambut Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau seluas 682 ribu hektar kini berangsur rusak.

Selain itu, katanya lahan itu masih menjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemilik areal Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti perusahaan kayu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).

"Coba anda lihat disana kerusakan hutan di Riau itu khususnya lahan gambut di semenanjung kampar harus diselamatkan," kata juru kampannye Greenpeace Indonesia Zulfami kepada wartawan, Minggu (13/2).

Greenpeace minta aktifitas RAPP di Semenanjung Kampar segera dihentikan.

"Kami telah mengundang Wakil Menlu Otero untuk mengunjungi Pekanbaru melihat kerusakan lahan gambut, sumber utama emisi gas rumah kaca di Indonesia, dan bertemu dengan warga desa membahas dampak dari penggundulan hutan.

Wakil Menteri Luar Negeri AS Bidang Demokrasi dan Masalah Global, Otero membawahi Biro Kependudukan.

Selain itu beliau membidangi Pengungsi, dan Migrasi; Demokrasi, HAM, dan Buruh; Bidang Kelautan dan Lingkungan dan Ilmiah Internasional; dan Kantor Pemantauan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia.

"Ia juga menjadi Koordinator Khusus untuk Isu Tibet".(sdp)

Baca Selengkapnya..

Hutan Kampar Rusak akibat Pembalakan Liar dan Kebakaran


PEKANBARU--MICOM: Wakil Bupati Kampar Teguh Sahono mengakui kerusakan hutan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, akibat masih maraknya kegiatan pembalakan liar dan kebakaran hutan setiap musim kemarau.

"Langkah yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan hutan harus dengan melakukan rehabilitasi dan pemeliharaan hutan, serta menghambat perambahan hutan maupun kegiatan illegal loging," tegasnya di Kampar, Rabu (7/12).

Ia mengatakan itu selaku Ketua Tim Penaggulangan Illegal Loging Kampar pada acara sosilaslisasi pemberantasan di aula kantor Camat Kampar Kiri Hulu.

Sebelumnya terungkap sekitar 11 desa di Kecamatan Kampar Kiri Hulu diterjang banjir bandang yang mengakibatkan puluhan rumah serta fasilitas umum hanyut. Banjir pada 25 November lalu juga menewaskan dua orangf.

Menurut Teguh, kondisi kawasan hutan di Kabupaten Kampar saat ini memprihatinkan karena masih maraknya praktik pembalakan liar dan sering terjadinya kebakaran hutan setiap musim kemarau. "Untuk itu, langkah rehabililtasi dan perbaikan kerusakan hutan dilakukan dengan menggencarkan penanaman kembali yang harus disertai kegiatan pemeliharaan dengan baik", ujarnya.

Ia menjelaskan, aktivitas pembalakan liar merusak seluruh fungsi hutan, sehingga terjadi degradasi dan 'deforestasi' pada hampir seluruh kawasan hutan. "Ini telah mengakibatkan turunnya kemampuan sumberdaya hutan. Karena itu perlu pengelolaan hutan lebih serius dan bijaksana untuk pembangunan hutan berkelanjutan, guna mencegah kerusakan lebih lanjut," katanya. (Ant/OL-01)

Baca Selengkapnya..

Mendesak, Moratorium Konversi Hutan Sumatera


Saat ini diperkirakan hanya ada 2.400 sampai 2.800 ekor subspesies gajah Sumatera yang masih hidup di alam bebas. Angka ini turun sekitar 50 persen dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1985 lalu. Menurut kalangan ilmuwan, jika tren ini berlanjut, hewan itu bisa punah kurang dari 30 tahun mendatang.

Untuk itu, World Wildlife Fund (WWF), lembaga konservasi lingkungan dan pemerhati spesies terancam punah, mendesak pemerintah Indonesia untuk melarang seluruh upaya konversi hutan yang menjadi habitat gajah sebelum strategi konservasi nasional diterapkan.

Meski gajah Sumatera sudah masuk dalam undang-undang perlindungan hewan, namun sebagian besar habitat mereka berada di luar kawasan hutan lindung dan hutan-hutan itu dapat dikonversi menjadi lahan pertanian. Situasi terburuk terjadi di kawasan tengah Sumatera, khususnya di provinsi Riau. Di provinsi tersebut, penggundulan hutan terjadi sangat pesat. Akibatnya, menurut data WWF, sekitar 80 persen populasi gajah di kawasan tersebut musnah dalam 25 tahun terakhir.

“Provinsi Riau sendiri telah kehilangan enam dari sembilan kawanan gajah yang tinggal di kawasan hutan di sana,” kata Anwar Puroto, juru bicara WWF Indonesia.

“Pemegang hak konsesi hutan seperti perusahaan pulp and paper serta perusahaan di industri minyak kelapa sawit memiliki kewajiban hukum dan moral untuk melindungi spesies terancam punah yang tinggal di lahan konsesi mereka,” ucapnya.

Menurut WWF, Mei tahun lalu, sebuah moratorium pemberian izin penebangan hutan di Indonesia, sebagai bagian dari proyek kerjasama sebesar Rp8,9 trilun antara Indonesia dan Norwegia yang diharapkan memacu upaya memangkas emisi serta meredam perluasan lahan perkebunan akhirnya ditandatangani. Sayangnya, moratorium yang sebenarnya sudah lama tertunda itu langsung dilanggar di hari pertama setelah penandatanganan tersebut.

Ironisnya, dalam 70 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan harimau Bali dan harimau Jawa akibat ancaman serupa yang kini tengah dihadapi gajah Sumatera. (Sumber: Reuters, Times of India)

Baca Selengkapnya..

Kerusakan Hutan di Propinsi Kepulauan Riau


Era Baru News Selasa, 04 Mei 2010Tanjungpinang - Sebanyak enam kawasan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, mengalami kerusakan akibat pembalakan liar, kata Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bintan Kartini. "Sebagian aktivitas pembalakan liar berhasil dihentikan warga yang tinggal di sekitar hutan. Namun sebagiannya lagi berhasil menebang dan membawa batang pohon dari hutan, karena warga takut berhadapan dengan mereka," ujar Kartini di Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (4/5).

Hutan lindung yang mengalami kerusakan adalah Sei Pulai, Gunung Bintan Kecil, Gunung Bintan Besar, Gunung Kijang, Gunung Lengkuas dan Sungai Jago. Aktivitas penebangan pohon secara ilegal di tengah hutan lindung tersebut, sudah berlangsung bertahun-tahun. Penjarahan pohon di hutan tersebut bukan dilakukan warga setempat, melainkan oknum aparat tertentu. Bahkan, katanya, beberapa kasus pembalakan liar yang terungkap melibatkan oknum aparat. Menurut dia, sebagian warga yang tinggal tidak jauh dari kawasan hutan takut berhadapan dengan oknum tersebut. Sebagian hasil hutan di Bintan berhasil dibawa ke Tanjungpinang. Pohon-pohon di hutan tersebut diolah dan dijual di Tanjungpinang. "Sulit menuntaskan permasalahan ini. Polisi hutan dan warga selalu mengejar penebang pohon di hutan, bahkan berhasil menyita puluhan batang kayu yang saat ini disimpan di kantor," katanya.

Pemerintah Kabupaten Bintan telah menggunakan berbagai cara dalam menuntaskan permasalahan ini, salah satunya dengan menyebarkan Surat Edaran Nomor 209/Distanhut/2010. Surat edaran itu berisi imbauan kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak memotong pohon di hutan dan menguasai hasil hutan tanpa seizin pejabat yang berwenang. Bahkan pemerintah juga membeberkan sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku pembalakan liar berdasarkan Pasal 50 UU Nomo 41/1999 tentang Kehutanan.

Selain itu, pemerintah melakukan sosialisasi kepada pihak kelurahan yang wilayah kerjanya memiliki hutan. Sosialisasi berhubungan dengan upaya pencegahan terhadap kegiatan penebangan hutan secara ilegal, dan gerakan pelestarian hutan. Pemerintah Bintan juga telah melayangkan surat kepada Pemerintah provinsi Kepri untuk membentuk tim yang bertugas mencegah dan menangkap pelaku pembalakan liar. Tim itu melibatkan pihak pemerintah, TNI dan Polri. Surat tersebut belum ditanggapi Pemerintah Kepri. "Kami merasa optimistis tim tersebut efektif dalam penuntasan pembalakan liar," ujarnya.(ant/yan)


Baca Selengkapnya..

Tinggal 7 Persen, Harimau Sumatera Terancam Punah!


YOGYAKARTA – Harimau Sumatera merupakan satu-satunya dari subspecies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Sementara Sub species harimau jawa dan harimau bali sudah punah. Kendati demikian, harimau sumatera kini terancam mengalami hal yang sama. Populasinya semakin menurun seiring maraknya perdagangan ilegal satwa liar dan deforestasi hutan. Diperkirakan, jumlah populasi harimau sumatera kini tinggal tersisa 7 persen di masing-masing habitatnya.

“Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang mengalami kepunahan dua sub species harimau sekaligus,” ujar pemerhati fauna UGM Dr. Satyawan Pudyatmoko dalam seminar konservasi harimau sumatera yang berlangsung di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Sabtu (16/4).
Ia menyebutkan, sekitar 400-500 ekor harimau sumatera yang kini masih hidup. Jumlah tersebut menurun drastis dalam 40 tahun terakhir. Padahal jumlahnya pernah mencapai 1200-an ekor di tahun 1970-an. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kepunahan seperti harimau jawa dan harimau Bali, dia mengusulkan harimau sumatera segera dilakukan upaya konservasi. Salah satunya dengan menambah lahan kawasan konservasi sebagai areal habitat populasi lestari. “Untuk bisa lestari dalam jangka 100 tahun minimum kawasan konservasi menampung 250 ekor harimau dengan luas minimum habitat 1 ekor per 100 kilometer persegi,” paparnya.
Sementara ini, luas habitat kawasan konservasi saat ini hanya 58.321 kilometer persegi. Padahal luas habitat potensial mencapai 144 ribu kilometer persegi. “Sayangnya, hanya 29 % dari habitat harimau yang masuk dalam kawasan konservasi,” katanya.
Koordinator Wildlife Species WWF Indonesia Chairul Shaleh mengatakan ancaman kepunahan harimau sumatera disebabkan adanya bisnis perdagangan satwa liar yang tengah marak di seluruh dunia. Bahkan, bisnis perdagangan harimau ini merupakan bisnis hewan liar terbesar kedua setelah kera. “Tiap tahun diperkirakan 100 ekor harimau di seluruh dunia dibunuh. Dagingnya dijual untuk dikonsumsi, sedangkan kulitnya untuk dikoleksi,” katanya.
Untuk melestarikan keberadaan harimau sumatera ini, kata Shaleh, perlu dilakukan kebijakan pengembangan tiger farming seperti yang dilakukan di China. Meski hasil dari penangkaran dan pengembangbiakan harimau ini di jual di pasaran namun tetap dalam kerangka melindungi populasinya dari ancaman kepunahan. Tidak hanya China, kata Shaleh, Negara Zimbabwe dan Mozambik juga berhasil melakukan hal yang sama dalam pengembangbiakan populasi gajah untuk mengantisipasi terjadinya kepunahan dari ancaman perdagangan illegal satwa liar. “Perdagangan illegal ini semakin mengancam keberadaaan harimau sumatera,” tuturnya.
Dr. drh. Wisnu Nurcahyo dari bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM punya pendapat lain, ancaman kepunahan hewan langka tidak hanya disebabkan oleh maraknya perdagangan satwa liar tapi juga disebabkan banyaknya hewan yang mati akibat terkena penyakit yang timbul akibat dampak global warming. “Pengalaman kita dalam menangani orang hutan di Kalimantan, banyak yang terkena penyakit malaria akibat tertular dari manusia. Bisa jadi kemungkinan harimau banyak yang mati terkena toxoplasma,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

ugm.ac.id

Baca Selengkapnya..

Perkebunan Sawit Bantai Orangutan


JAKARTA-Kelangsungan hidup Orangutan di bumi Kalimantan terus terancam. Meski sudah masuk sebagai hewan langka yang dilindungi, populasi orangutan berada di ambang kepunahan. Menyusul pembantaian terhadap Pongo Pygmaeus itu karena dianggap sebagai hama kelapa sawit . Ironisnya, pemerintah, maupun aparat belum bereaksi atas tragedi ini.

The Nature Conservancy dan 19 organisasi swasta lainnya termasuk WWF dan Asosiasi Ahli Primata Indonesia dan beberapa pengamat melakukan survei untuk mengetahui tentang kebenaran adanya pembataian tersebut. Mereka mewawancarai 6.983 orang di 687 desa di tiga provinsi Kalimantan antara bulan april 2008 hingga september 2009. Hasil yang ditemukan adalah setidaknya 750 orangutan telah tewas dalam periode waktu setahun itu.

Lebih dari setengah responden yang diwawancara bahkan mengaku setelah membunuh, mereka memakan daging orangutan tersebut. Orangutan tersebut dibunuh karena mengganggu tanaman milik warga. Meskipun pihak kementerian kehutanan Indonesia belum banyak berkomentar mengenai masalah ini, namun melihat banyaknya bukti tengkorak, kulit, dan bagian tubuh orangutan yang tergeletak berserakan di hutan, fakta ini merupakan fakta yang cukup mengerikan.

Menurut hasil penelitian dilakukan Perhimpunan Pemerhati dan Peneliti Primata Indonesia (Perhappi) dan The Nature Conservancy (TNC), April 2008 hingga September 2009, menunjukkan adanya "perebutan ruang" antara manusia dengan orangutan.

Belakangan mencuat isu bahwa negara tetangga, Malaysia, diduga turut melakukan pembantaian terhadap spesies orangutan yang berada di areal konsesi perusahaannya. Namun, peneliti dari Pusat Peneliti Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman Samarinda, Yaya Rayadin mengatakan, keterlibatan pengusaha negeri Jiran tersebut dalam pembantaian orangutan belum bisa dibuktikan.

“Setahu saya, hal itu belum bisa dibuktikan,” terangnya, kemarin (16/11).

Bahwa pengusaha Malaysia memiliki saham di perusahaan di Indonesia, itu adalah benar. Meski tak bisa dikatakan mereka turut “merekomendasikan” pembunuhan orangutan. Yaya juga mengatakan, sebaiknya Pemprov Kaltim tak menutup mata terkait permasalahan kelestarian orangutan. Meski wewenang mutlak berada di tangan pemerintah pusat, namun pemprov diharapkan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap pembantaian spesies yang memiliki kesamaan DNA (deoxyribonucleic acid) mencapai 96,4 persen dengan manusia.

Satu hal yang menurut Yaya tak kalah penting adalah anggaran untuk penyelamatan orangutan. Hingga saat ini belum ada kepastian mengenai hal tersebut. “Kita berbicara konservasi orangutan. Tapi apakah ada budgetnya?,” tutur dia.

Sekadar diketahui, pada 2007 silam, sebanyak 750-1.800 orangutan mati di Indonesia. Ribuan kematian orangutan terjadi di tahun-tahun berikutnya.Hal itu terungkap dalam pemaparan hasil penelitian tentang orangutan dan diskusi konflik manusia dengan kehidupan liar di lantai 4 Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada awal November 2011 lalu.

Penelitian dilakukan oleh Perhappi dan TNC mulai April 2008 hingga September 2009, dibantu sebanyak 18 lembaga swadaya masyarakat (LSM). Di antaranya WWF, FK3I, Yayasan Palung, PRCFI, Yayasan Riak Bumi, Yayasan Simpur Hutan, Yayasan Dian Tama, SuAR Institute, Sylva-Untan, Titian& Akar, BOSF, FNPH, MLH, OFI, Perhimpunan Teropong, YCI, BEBSIC & BIOMA.

Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Perhappi menjelaskan metode survei yang dilakukan. Ada 725 desa di 187 kecamatan dan 41 kabupaten di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, yang disurvei. Salah satu temuan lain dari survei ini adalah mengenai konflik orangutan dengan manusia. “Konflik diartikan orangutan memasuki kebun atau ladang,” kata Niel. Lalu, warga menganggap orangutan tersebut sebagai hama.

Yaya Rayadin beberapa waktu lalu mengatakan, terjadi perbedaan perspektif antara konservasionis orangutan dengan perusahan kelapa sawit. Sebagian besar perusahaan sawit masih menempatkan orangutan sebagai hama sehingga tindakan yang dilakukan terhadap orangutan juga persis seperti memberantas hama.
Memposisikan orangutan sebagai hama di kebun sawit, menurut dia, mungkin wajar-wajar saja dari perspektif pengusaha.

Dalam satu hari, satu ekor orangutan bisa menghabiskan 30-50 tanaman sawit yang berumur di bawah 1 tahun sebagai sumber pakannya. Kalau harga tanaman sawit di bawah 1 tahun diasumsikan Rp 20 ribu, setidaknya setiap ekor orangutan di kebun sawit memberikan kerugian sebesar Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta per hari. Dalam konteks ini terlihat jelas bahwa konflik orangutan di kebun sawit lebih tinggi dan rentan dibandingkan fungsi-fungsi kawasan lainnya. “Kejadian ini muncul karena adanya konversi habitat orangutan menjadi kebun sawit,” katanya.

Dia menjelaskan, khusus di Kaltim, habitat orangutan terpenting saat ini berada di areal yang dia sebut Lanskap Kutai. Areal seluas 600 ribu hektare itu termasuk dalam 3 kabupaten, yakni Kutai Timur (Kutim), Bontang, dan Kutai Kartanegara (Kukar). Dalam Lanskap Kutai, terdapat beberapa perusahaan HTI, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), perkebunan kelapa sawit, tambang, dan juga Taman Nasional Kutai (TNK). Berdasarkan hasil studinya dari tahun 2006 hingga sekarang, penelitian ground survey telah dilakukan bahkan telah berhasil membuat sekitar 74 km transek dan berhasil mengobservasi 1.500 pohon sarang dengan ditemukan sekitar 2.400 sarang orangutan.

Berdasarkan analisis sampling itu, populasi orangutan sekitar Lanskap Kutai bisa diprediksi. Dari luasan tersebut, mengacu kepada hasil penutupan kawasan hutan dan ground survey, diperkirakan masih terdapat sekitar 2.500-3.000 ekor orangutan di Lanskap Kutai.

Menengok ke belakang, pada 1990, jumlah orangutan di tanah Borneo diperkirakan mencapai 230 ribu. Pada 2007, angkanya diprediksi 54 ribu. Lalu, pada 2010, khususnya di Lanskap Kutai, menyusut jadi 2.500-3.000 ekor saja.

Dari kacamata pengamat lingkungan Niel Makinuddin, pemerintah juga punya andil dalam kerusakan habitat orangutan. Spesies orangutan dilindungi oleh undang-undang (UU). Tapi, ketika Tata Ruang memaksa habitat orangutan tergerus oleh kepentingan usaha, tidak ada hukum yang mengaturnya. “Padahal orangutan kalau habitatnya dirusak, sudah pasti mati. Entah dikejar karyawan perusahaan atau mati kelaparan,” ujar pengamat lingkungan ini.

Niel mengatakan, pakan dan ruang bagi orangutan merupakan kunci kehidupan. Jika dua itu tak ada, bisa dipastikan orangutan akan pergi mencari tempat baru. “Orangutan makan sawit atau kambiumnya akasia itu temporary, karena bukan itu makanan utama mereka, bisa dilihat dari struktur giginya. Tapi, karena keadaan, sebagian tempat sudah jadi batu bara, sawit, mereka lari,” jelas Niel.

Proses penetapan tata ruang, menurutnya, juga jadi masalah. “Proses perizinan dalam tata ruang, tidak ada indikasi di sana habitat penting orangutan. Kalau ada indikasi, perusahaan biasanya hati-hati,” katanya. (dwi/wan/jpnn)

JPNN.com

Baca Selengkapnya..