NO. 05/INSTR/2007 MASIH TERSIMPAN RAPI DI “LAPTOP” PEMERINTAH INDONESIA DAN PEMERINTAH ACEH,
DAN BELUM TERIMPLEMENTASI DENGAN BAIK DI LAPANGAN”
Setahun yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei 2011, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani dan memberlakukan sebuah kebijakan penting di sektor kehutanan, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kebijakan ini tentu saja sebuah langkah baik dan sepatutnya diberikan apresiasi sebagai sebuah usaha dalam rangka penyelamatan hutan di Indonesia.
Namun patut juga di ingat bahwa sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat tersebut sudah sangat “ketinggalan kereta” dibandingkan Provinsi Aceh, karena Pemerintah Aceh justru sudah terlebih dahulu mengeluarkan sebuah kebijakan penting terkait pengelolaan hutan di Aceh, yakni Instruksi Gubernur (Ingub) Nanggroe Aceh Darussalam No. 05/INSTR/2007, tentang Moratorium Logging (Penghentian Sementara Penebangan Hutan) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (saat ini Provinsi Aceh), yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh saat itu Irwandi Yusuf, pada tanggal 6 Juni 2007.
Lalu apa yang salah dengan kedua kebijakan tersebut? Justru sebenarnya tidak ada yang salah dengan kedua kebijakan, yang salah adalah sejauh mana kedua kebijakan penting tersebut dapat diimplementasikan secara baik dan tepat di lapangan. Bagaimana mungkin kebijakan tersebut bisa diimplementasikan secara baik di lapangan jika sampai saat ini masih saja di simpan rapi di dalam “laptop” Pemerintah maupun Pemerintah Aceh.
Seharusnya Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru ataupun Moratorium Logging merupakan pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang (Redesign), penanaman kembali hutan (Reforestasi), dan menekan laju kerusakan hutan (Reduksi deforestasi) atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. Konsep ini diharapkan untuk mewujudkan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”. Jeda (moratorium) tebang hutan adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Lama atau masa diberlakukannya moratorium ditentukan kurang lebih 15-20 tahun.
Dua hal penting yang menjadi pertimbangan diberlakukannya kebijakan Moratotarium/Jeda tebang di Aceh adalah bahwa di Aceh terjadi berbagai musibah seperti banjir, tanah longsor dan gangguan satwa liar antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali, dan yang kedua adalah semangat untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan serta untuk menata kembali strategi pembangunan hutan Aceh. Kebijakan moratorium yang dideklarasikan oleh Pemerintahan Aceh tersebut seharusnya juga mengikat para pemegang konsesi penebangan, yaitu HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan. Kebijakan Moratorium Logging yang dituangkan dalam instruksi gubernur telah memandatkan kepada instansi di bawah lingkup pemerintah Aceh untuk memastikan bahwa moratorium ini terlaksana di lapangan.
Secara umum, jika kita melihat berbagai persoalan yang ada di sektor kehutanan baik di Indonesia maupun di Aceh, sungguh luar biasa banyak. Mulai dari masalah korupsi, penegakan hukum yang lemah, penebangan illegal (illegal logging), pembakaran hutan, konversi lahan menjadi perkebunan dan tambang, ekspansi yang tidak bertanggungjawab di lahan hutan dan rawa gambut serta berbagai konflik antara manusia dengan satwa liar hingga konflik antara masyarakat adat dengan pihak pengusaha yang dilindungi oleh penguasa, dan berbagai persoalan lainnya yang semakin hari semakin rumit dan carut marut.
Walhi Aceh menilai bahwa sejak diberlakukannya Kebijakan Moratorium logging di Aceh lebih kurang 5 tahun yang lalu hingga sekarang, ternyata masih belum mampu menyelamatkan hutan Aceh dari kerusakan. Catatan WALHI Aceh sendiri, jika pada tahun 2006, kerusakan hutan di Aceh masih sekitar 20.000 hingga 21.000 hektar per-tahunnya, namun catatan WALHI Aceh pada akhir tahun 2010 saja kerusakan hutan di Aceh justru bertambah hingga mencapai 23.000 hingga 40.000 hektar per-tahun, dan ini juga dibuktikan dengan kejadian bencana yang sepanjang tahun semakin bertambah.
Jika melirik lebih jauh terkait kebijakan nasional melalui Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia No. 10 Tahun 2011, tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sepertinya hal ini jelas-jelas dikangkangi dan dihiraukan sama sekali. Dengan sangat berani Instruksi Presiden tersebut dilanggar oleh Gubernur Aceh yang berkuasa saat itu, dengan mengeluarkan Surat Izin Gubernur No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Kalista Alam di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Hektar, dan jelas sekali bahwa hal ini sangat bertolak belakang dengan Surat Bupati Nagan Raya, No. 601/481/2011, tanggal 21 Nopember 2011 kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditembuskan kepada Gubernur Aceh dan instansi terkait bahwa Pemerintah Kabupaten Nagan Raya tidak dapat memberikan izin lokasi usaha tersebut untuk budidaya perkebunan kelapa sawit kepada PT. Kalista Alam. Lalu pertanyaannya kemudian, permainan apa lagi ini yang sedang dipertontonkan?
Lalu dari sekian banyak kasus yang terjadi, pertanyaannya kemudian apakah moratorium bisa menjadi kebijakan “juru selamat” atas kerusakan hutan kita? Tentu saja bisa, namun dengan syarat bahwa kebijakan tersebut diperkuat, dijalankan dengan benar, dengan capaian dan target yang jelas dan bukan hanya dibatasi dengan menunda izin selama dua tahun semata, Namun yang penting difikirkan adalah perbaikan secara ikhlas dan sungguh-sungguh berbagai persoalan yang mengakar pada tatakelola hutan dan birokrasi pemerintahan kita. Dalam hal ini, Moratorium bukanlah tujuan akhir melainkan sebuah proses yang harus dilalui untuk mencapai pengurangan laju deforestasi. Moratorium juga mengandung makna korektif, tidak hanya sebuah upaya jeda tetapi terutama upaya memperbaiki keadaan. Karena itu, moratorium berkaitan dengan target perubahan yang ingin dicapai. Target tersebut terumuskan dalam ukuran yang jelas sehingga pada saatnya bisa jadi ukuran yang menentukan apakah selama periode moratorium ukuran-ukuran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum.
WALHI Aceh menyerukan perlu dan segera dilakukan pembaharuan dan penguatan Inpres No. 10/2011 dan Ingub Aceh No. 05/INSTR/2007. Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik. Mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya.
Banda Aceh, 21 Mei 2012
Hormat Kami,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh
Teuku Muhammad Zulfikar
Direktur Eksekutif
HP: 08126901283
walhi.or.id
Here ]
Get this widget [
No comments:
Post a Comment