Thursday, May 31, 2012

Akses Pangan: Di manakah Ruang bagi Perempuan?


Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman” (UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan)

Tiap mahkluk hidup membutuhkan pangan, begitu juga dengan manusia. Selain untuk tumbuh dan berkembang, pangan merupakan sumber tenaga bagi manusia untuk tetap sehat, sehingga mampu bergerak, beraktifitas dan berproduksi. Untuk memperoleh semua itu, maka tubuh manusia membutuhkan pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya baik secara fisik, biologi maupun kimia yang memungkinkan kebutuhan akan zat gizi.

Menurut Ayib, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam konteks sosial budaya, pangan tidak hanya bernilai gizi, karena di masyarakat pangan memiliki dimensi dan nilai yang tinggi. Pangan merupakan alat sosial dalam kehidupan masyarakat. Kerap kali pangan menjadi alat perekat bagi suatu komunitas sekaligus identitas. Semisal sagu, menjadi identitas masyarakat adat Papua.

Indonesia mengatur kondisi perpanganannya melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996, namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil (baca: petani), terutama perempuan, karena undang-undang ini cenderung berpihak pada pihak pengusaha (swasta) dan menjadikan pangan hanya sebagai komoditas bukan kebutuhan pokok warga negara.

Masalah pangan juga menjadi persoalan negara-negara di dunia, hal tersebut bisa dilihat dari salah satu target dalam Milinium Development Goals (MDGs), yang Indonesia juga turut menandatanganinya dan harus dicapai di tahun 2015, yakni mengurangi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya (Tujuan 1, Target B)

Hanya empat tahun lagi target tersebut harus dicapai, sedikit indikator yang masih on the track bahkan memerlukan perhatian khusus, seperti misalnya prevelensi balita gizi buruk, yang merupakan indikator dari Target B, Tujuan 1. Pola konsumsi makanan oleh masyarakat merupakan salah satu penyumbang terjadinya gizi buruk yang dipengaruhi pula dengan bagaimana mereka mengakses pangan. Mempercepat penurunan angka kurang gizi terhadap ibu dan anak turut memberikan kontribusi bagi pencapaian MDGs ke-1 (Mengentaskan Kemiskinan Ekstrim dan Kelaparan), MDGs ke-4 (Mengurangi Tingkat Kematian Anak), MDGs ke-5 (Meningkatkan Kesehatan Ibu) dan MDGs ke-6 (Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya).

Tidak Adanya Keberagaman Pangan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kontur tanah yang beragam, di mana beragam pula tumbuhan yang hidup di dalamnya. Tetapi sayang, politik Orde Baru telah mendoktrinisasi bahwa pangan adalah beras, maka dengan demikian keberagaman pangan yang ada menjadi hilang, karena adanya sistem pangan homogen.

”Jika melihat esensi utama pangan sebagai sumber gizi untuk hidup sehat, maka pangan sangatlah luas dan kaya sumbernya. Namun di Indonesia, pangan dimaknai sebagai bahan pangan pokok. Dan karena pangan pokoknya beras, jadilah seolah-olah ketika muncul kata pangan sama artinya dengan beras”, demikian Ayip mengungkapkan.

Kekeliruan lain ketika berbicara pangan terkait soal teritori, sering hanya soal daratan semata (baca: pertanian). Padahal pangan berasal dari nabati dan hewani. Untuk sumber pangan hewani, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber yang melimpah karena dikelilingi oleh lautan. Namun sayang, potensi itu pun belum dioptimalkan.

”Pangan yang dibicarakan masih kebanyakan yang di darat, yang merupakan hasil dari pertanian, belum dari sektor perikanan”, demikian ungkap Mida Saragih, dari Kiara.

Adanya indoktrinisasi pangan adalah beras di seluruh wilayah Indonesia telah mengubah pangan-pangan lokal yang sebelumnya ada. “Dahulu, beberapa pulau di Indonesia bagian timur memiliki makanan pokok bukan beras. Misalnya Papua banyak mengkonsumsi umbi-umbian, di NTT makan jagung, Sulawesi makan sagu atau singkong, dan lainnya. Karena tanaman inilah yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah itu di mana memiliki lahan dengan karakteristik kering, berbatu, kurang subur, tidak banyak air. Di wilayah Jawa dan Indonesia bagian Barat makanan utama adalah beras, karena lahannya relatif subur dan banyak air maka padi dapat tumbuh dengan baik”, demikian pendapat Kodar Tri Wusananingsih, dari Seknas Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumah Tangga (PEKKA).

Karena kondisi yang demikian, Ayip melihat bahwa perlahan namun pasti, konsumsi pokok menjadi homogen, yakni BERAS. “Homogenitas itu menciptakan konsekuensi yang luar biasa. Pertama, adanya tuntutan untuk terus menjaga produksi beras memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sehingga, menjadi logis segala kebijakan dan program diarahkan ke peningkatan produksi beras.”, demikian ungkapnya.

Ketika beras sulit di produksi, karena lahan subur semakin hilang dan pangan dianggap hanya sebagai komoditas, serta beras dimaknai superior dibanding pangan lainnya, maka ketika terjadi krisis pangan, impor beras menjadi pilihan, dan sayangnya kebijakan itu tidak berpihak kepada rakyat kecil, semua orang--hanya kepada pengusaha/swasta--akhirnya berlomba-lomba untuk mengimpor beras tanpa memperhatikan produsen kecil (petani).

Akses Perempuan Terhadap Pangan

Perempuan kerap dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap penyediaan pangan bagi keluarganya sehari-hari. Maka ketika sumberdaya pangan terbatas, perempuan yang harus berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan makanan bagi keluarganya, dengan cara bekerja apa saja dan mencari bahan makanan apa saja, yang ada di sekitar rumahnya atau lingkungannya.

Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, di salah satu wilayah dampingan PEKKA, pada musim panen ibu-ibu Pekka yang masih muda dan kuat banyak yang bekerja di sawah memanen padi sampai pergi ke kecamatan atau kabupaten lain dan menginap berhari-hari. Mereka menginap di tengah sawah, karena tidak ada pilihan lain. Untuk ibu-ibu Pekka yang tua dan tidak bisa memburuh lagi akan memungut sisa-sisa gabah yang menempel di tangkai atau jatuh di sawah. Kemudian memilahkannya dari tangkainya atau dari tanah dan batu yang tercampur. Dari hasil seperti ini, mereka dapat hidup 1-3 hari untuk dirinya.

Sementara itu di wilayah Pekka yang kondisi alamnya tidak subur, maka banyak laki-laki yang pergi merantau meninggalkan isteri dan anaknya di rumah. Maka beban pengadaan pangan dan seluruh kebutuhan pangan keluarga bertumpu pada perempuan. “Perempuan yang menanam, merawat, memanen dan mengolah pangan untuk dirinya dan keluarganya. Pada saat pangan hasil kebun sendiri tidak cukup, perempuan maka akan bekerja apa saja untuk menghidupi keluarganya, dan ini tidak mudah, karena peluang terbatas” demikian ungkap Kodar.

Budaya patriarkat yang masih berlaku di berbagai daerah, membuat perempuan mengakses pangan terakhir setelah suami dan anak-anaknya, ketika kebutuhan pangan dalam rumah tangga tidak tercukupi. Padahal, ketika bicara soal asupan gizi, maka perempuan sangat membutuhkan, apalagi ketika ia sedang hamil atau menyusui. Ketika akses perempuan terhadap pangan tidak terpenuhi, perempuan tidak memperoleh asupan gizi yang cukup, maka akan turut mempengaruhi gizi buruk, kematian ibu dan kematian anak.

“Akses pangan adalah Hak Asasi Manusia, maka perempuan mempunyai akses yang sama besarnya dalam hal pangan, dalam kondisi-kondisi tertentu seperti saat perempuan hamil dan menyusui, maka akses perempuan terhadap pangan harus lebih diutamakan”, ungkap Islah dari WALHI.

Perempuan sering tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, padahal keterlibatan perempuan di situ sangat besar. Melihat hal ini, Jumi Rahayu dari WALHI berpendapat, bahwa karena naluri tersebut sudah melekat dalam diri perempuan. “Perempuan tidak diperhatikan pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola sumber daya pangan, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang naluriah saja, kaitannya dengan peran gender perempuan sebagai pengurus rumah tangga dsb”.

Karena adanya kerusakan lingkungan, dalam beberapa kasus, peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan air dan pangan menjadi tidak berdaya. Islah mencoba memberikan gambaran tentang apa yang terjadi di NTT, akibat penghancuran hutan yang dilakukan, kebun-kebun sayur untuk kebutuhan sehari-hari menjadi kekeringan dan perempuan harus memikul air berkilo-kilo meter karena sumber air kering yang akibat hutan mereka di bakar Dinas Kehutanan (TTS, 2008).

“Kalau ditanyakan mengapa perempuan tidak dilihat sebagai yang memiliki pengetahuan dalam mengelola sumberdaya pangan, maka jawabannya adalah pola produksi pangan "modern"-lah yang menghancurkan peran-peran perempuan dalam menghasilkan pangan”, demikian Islah menjelaskan.

Sampai saat ini, tidak ada yang membantah bahwa perempuan adalah sejatinya produsen pangan. Keterlibatan perempuan tidak hanya dalam hal produksi, distribusi bahkan konsumsi. “Dalam hal produksi padi misalnya, 80% proses produksi perempuan terlibat didalamnya. Dalam hal konsumsi, perempuan merupakan aktor utamanya. Namun saying, besarnya kontribusi perempuan pada proses-proses produksi-distribusi-konsumsi pangan tidak serta merta meningkatkan posisi dan aksesnya terhadap sumber pangan”, jelas Ayip.

Selama ini, perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal dengan keterlibatan perempuan dalam pangan menunjukkan mereka sebagai pihak yang kaya akan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan. Sampai kini, perempuan masih dipinggirkan. Akses akan pengetahuan dan sumber pangan masih terbatas. Peminggiran ini dapat dengan mudah dilihat dalam pengembangan teknologi produksi pangan yang bias laki-laki.

Dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah dengan mudah dijumpai desain yang lebih banyak memperhitungkan laki-laki ketimbang kesetaraan yang memungkinkan perempuan terlibat di dalamnya. Walaupun terakhir sudah ada program yang khusus untuk perempuan tani, namun dalam implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.

Peran Negara dalam Memenuhi Pangan

Ketika bicara hak, maka akan ada pihak lain yang seharusnya berkewajiban memenuhi hak rakyat tersebut, dalam hal ini mestinya pemerintah. Pemerintah melalui kebijakan dan peraturan yang ada dapat memastikan bahwa tiap warga rakyat di Indonesia dapat tercukupi kebutuhan pangannya baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pemerintah berkewajiban membentuk seperangkat sistem yang dapat menjamin kecukupan pangan bagi warganya.

Hak atas pangan sesungguhnya tidak hanya berkait dengan persoalan ketersediaan dan cadangan, tetapi soal akses/distribusi, dan konsumsi. Lebih jauh, hak atas pangan juga menyangkut penerimaan secara budaya, kebijakan bantuan pangan kepada kelompok khusus (kelompok rentan: perempuan; ibu hamil, anak-anak; manula, dan lainnya) dan untuk situasi khusus (rentan: bencana alam; konflik) serta penyadaran tentang gizi. Oleh karenanya, pemenuhan hak atas pangan mensyaratkan adanya sinkronisasi antara kebijakan yang terkait pangan seperti perikanan, peternakan, pertanahan, industri, perdagangan, keuangan, kesehatan, dengan pendidikan serta jaminan sosial.

Menurut Islah, ada satu hal yang mengkuatirkan dari kebijakan pemerintah saat ini, yakni paradigma mereka dalam pemenuhan pangan. Pemerintah memakai paradigma "ketahanan pangan" yang cenderung mementingkan ketersediaan pangan tidak peduli dari mana asalnya, siapa dan bagaimana diproduksinya.

“Untuk memenuhi ketersediaan pangan, maka pemerintah berusaha menggenjot produksi dan areal pertanian, tetapi sialnya, pemerintah menyerahkan urusan tersebut pada perusahaan-perusahaan pertanian besar, swasta dan asing (Food estate). Apa dampaknya? Dengan skema food estate, mungkin ketersedian pangan tercukupi namun akses pangan makin jauh dari rakyat, karena harga pangan akan terus mengikuti harga pasar, sementara rakyat miskin di indonesia (petani dengan lahan sempit, buruh dan KMK) tidak mampu mengaksesnya”, lanjut Islah.

Menyikapi kondisi demikian, menurut Ayip, tidak ada jalan lain kecuali mendorong kedaulatan pangan. “Ketahanan dan kemandirian saja tidaklah cukup, diperlukan sikap politik yang kuat sebagai bentuk kedaulatan bangsa ini atas pangan. Tanpa kedaulatan pangan, maka hak atas pangan akan sulit diwujudkan, yang gilirannya justru menjadikan negera ini sebagai bulan-bulanan pasar pangan global”, demikian ungkapnya.

Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, ada empat hal yang semestinya didorong kuat, yakni reforma agraria, perdagangan yang adil, konsumsi pangan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan, menjadi prasyarat utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.*****(Joko Sulistyo)

Related Post | Artikel Terkait



Get this widget [ Here ]

No comments:

Post a Comment