Jakarta (31 Mei 2012) Setelah menunggu lebih dari setahun, akhirnya Mahkamah Konstitusi memanggil pemohon Uji Materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembacaan keputusan. Sidang putusan dijawalkan pada 4 Juni 2012. Permohonan uji materi Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara dimohonkan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam wilayah pertambangan, yakni masyarakat dari Kulonprogro, Likupang-Sulawesi Utara, Seluma-Bengkulu dan Papua Barat.
Uji materi ini adalah upaya untuk wujudkan adanya pengakuan hak veto (kedaulatan atas ruang hidup) rakyat dari rencana penetapan wilayah pertambangan, dan upaya menghilangkan ancaman kriminalisasi terhadap siapa saja yang perjuangkan lingkungan dan hak lainnya manakala berhadapan dengan perusahaan tambang.
Para pemohon menilai, UU Pertambangan Mineral dan Batubara mengakui hak rakyat atas ruang hidupnya secara semu. Hak hidup ruang rakyat belum diakui secara tegas sehingga membuka pintu bagi kekuasaan pemerintah menetapkan wilayah pertambangan secara sepihak. Pasal 9 dan 10 dalam prosedur penetapan wilayah pertambangan menyatakan proses penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara partisipatif dan memperhatikan aspirasi daerah. Hal ini masih semu ini, kurang tegas, sehingga ketentuan pelaksaanaan partisipatif dan memperhatikan aspirasi warga menjadi hilang sama sekali dalam aturan pelaksanaannya, yakni dalam Peraturan Pemerintah No 22 tentang Wilayah Pertambangan.
WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat yang ruang hidupnya terancam oleh pertambangan memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar hal “partisipasi dan memperhatikan aspirasi warga” dimaknai bahwa dalam proses penetapan wilayah pertambangan harus ada persetujuan atau ketidakpersetujuan tertulis terlebih dahulu dari rakyat yang terdampak negatif.
Seluruh wilayah pertambangan Indonesia saat ini sarat konflik dengan masyarakat sekitar. Empat orang warga Desa Gendoang, Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, sedang diproses di Kejaksaan di Jawa Barat terkait dengan penolakan tambang galian pasir di dekat perumahan mereka. Lubang-lubang tambang tersebut berbahaya bagi anak-anak dan pemukiman perumahan jadi rentan longsor. Tidak adilnya, empat warga Desa Gendoang sedang dikriminalisasi dengan dalih mengganggu ketertiban umum oleh Polda Jawa Barat.
Yang lainnya, Tukijo, warga Kulonprogo. Dia mempertahankan lahan pertanian dari rencana penambangan pasir besi dari Australia. Tidak adilnya, dia kini sedang dipenjara karena perjuangannya.
Pada 3 Mei tahun 2012, tiga petani Pulau Sumba NTT, yakni Umbu Mehang, Umbu Janji dan Umbu Pindingara dihukum sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Waikabubak-NTT karena perjuangan mereka menolak tambang emas PT.Fathi Resources dikawasan hutan. Kawasan hutan ini penting bagi kehidupan mereka sebagai sumber air dan kesuburan bagi pertanian.
Masyarakat sekitar Teluk Tomori-Teluk Tolo, Morowali menyaksikan geram warna biru laut teluk mereka mereka berubah jadi merah. Bupati Morowali keluarkan puluhan ijin pertambangan nikel di kawasan hutan sekitarnya. Dampaknya, 200 orang warga kota kecil Kolonodale terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga diserang penyakit gatal-gatal dan bercak benjol di kulit.
Masyarakat Kota Gorontalo dan sekitarnya kian cemas karena wilayah taman Nasional Nani Wartabone dialihkan menjadi kawasan pertambangan. Bajir setinggi pinggang orang dewasa kala musim hujan kian mengancam.
Kehadiran pertambangan nikel di kawasan hutan Weda, Halmahera Tengah telah menutup akses petani akan hasil hutan seperti pala, sagu. Ruang hidup warga terancam tebaran debu nikel yang karsinogen dan rusaknya hutan sebagai sumber air dan bahan pangan. Didirikannya markas Brimob di dalam kawasan tambang menyebabkan potensi pelanggaran HAM senantiasa terjadi sejak Weda Bay Nickel masuk ke ruang hidup warga.
Kriminalisasi terhadap warga yang protes terhadap perusahaan tambang dimungkinkan oleh ketentuan pasal 162. Karenanya, pasal ini dimohon untuk dinyatakan tak berlaku. Komnas HAM mendukung upaya uji materi atas pasal-pasal yang dimohonkan oleh WALHI, PBHI, Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA, dan masyarakat sekitar tambang. Karenanya, lembaga tersebut memberikan keterangan tertulis bagi persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Apakah Mahkamah Konstitusi mampu keluarkan putusan yang memutus rangkaian kekerasan, pelanggaran HAM, penyingkiran masyarakat setempat oleh wilayah pertambangan? Apakah kedaulatan (veto) rakyat atas ruang hidup akhirnya ditegakkan? Kita lihat keputusan MK pada tanggal 4 Juni mendatang.
Kontak media:
Asep Yunan Firdaus, Tim Advokasi Hak Atas Lingkungan,08158791019, ay_firdaus[at]yahoo.co.id
Pius Ginting, Manajer Kampanye Bidang Tambang dan Energi, 081932925700, pius.ginting[at]gmail.com
Andrie Wijaya, Kordinator Jatam, andrie[at]jatam.org, 08129459623
walhi.or.id
Here ]
Get this widget [
No comments:
Post a Comment