Surabaya memiliki ‘bom waktu’ bernama sampah yang kian hari, kian berdetak kencang. Sekelompok sosialita yang menamakan diri Ibu-ibu Kreatif pun rela mengotori tangan untuk ‘menjinakkannya’. Tak sekadar menyelamatkan lingkungan dari gunungan limbah, tapi keuntungan juga merekah.
Masih segar diingatan kita, beberapa pekan lalu Surabaya Post menurunkan laporan beruntutan mengenai menggilanya sampah di Kota Pahlawan ini. Volume sampah Surabaya tahun lalu sebanyak 8.800 meter kubik (m3) /hari, kini menjadi sekitar 9.000-10.000 m3/ hari, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Surabaya. Sekadar perbandingan di Bali sebagai tujuan wisata produksi sampahnya hanya sekitar 5.094 m3/hari. Perayaan Hari Lingkungan Hidup yang jatuh setiap 5 Juni--tahun ini pada Selasa nanti--pun makin tahun tambah suram.
Tak hanya memicu bau busuk, tapi ternyata secara materi menggunungnya sampah membuat kantong tekor. Anggaran untuk sampah di Kota Surabaya dari tahun ke tahun terus membengkak seiring kenaikan volume. Di tahun 2012 ini dana dari APBD mencapai Rp 24 miliar, naik signifikan dari posisi 2011 sebesar Rp 19,6 miliar. Artinya, dalam sehari Pemkot merogok kocek sebesar Rp 65 juta untuk keruk dan angkut sampah saja. Dengan cara pikir Pemkot seperti itu, diprediksi bom waktu bernama sampah itu akan ‘meledak’ lima tahun ke depan.
Dompet warga pun disedot iuran sampah tiap bulan bahkan diindikasikan dobel-dobel (Jawa: berkali-kali, Inggris: double). Selain ada tarikan sampah dari RT/RW (biasanya digunakan untuk membayar petugas sampah, jadi tak masuk kas daerah) yang besarannya sesuai kesepakatan--rata-rata Rp 10.000/bulan--juga ada retribusi resmi sampah dari pemerintah kota (Pemkot) yang masuk dalam penagihan PDAM sebesar Rp 2.500/bulan.
Meski bila dilihat per KK kecil, hanya Rp 12.500/bulan tapi bila dikalikan seluruh warga Surabaya yaitu sekitar 750.000 KK, maka ada sedikitnya Rp 9,375 miliar/bulan atau Rp 112,5 miliar/tahun duit yang digunakan untuk ‘merawat’ sampah. Bahkan nilai itu akan membengkak menjadi Rp 11,250 miliar tahun ini karena Pemkot berencana menarik retribusi Rp 2.500 untuk sampah melalui rekening listrik. Jadi total tarikan ‘sampah’ resmi dari Pemkot Rp 5.000/bulan/KK.
Ironi ini pun menggerakkan ibu-ibu di salah satu permukiman, Lembah Harapan, Lidah Wetan dengan cara membuka ‘Bank Sampah Lidah Harapan’. Memang terdengar aneh di telinga, karena wanita yang memiliki beragam profesi—mulai karyawan hingga pengusaha-- ini tidak menghabiskan waktu bersama dengan kongkow atau shopping, tapi lebih banyak mengurusi sampah.
Pembentukan ‘Bank Sampah’ ini dimulai sejak awal Juli 2011. ”Memang permasalahan sampah adalah momok setiap kota, apalagi dikota besar seperti Surabaya ini, kita harus lebih bersih dan mengurai sisa makanan ataupun barang bekas. Hal ini merupakan cara yang ramah untuk membersihkan lingkungan kita,” jelas Damayanti Heru yang menjadi Sekretaris Bank Sampah ini.
Awal dibentuknya, Bank Sampah mendapat cibiran dari masyarakat. Apalagi, untuk memulai Bank Sampah ini harus ada 4 faktor, pertama harus ada nasabah, tempat untuk bertransaksi, administrasi seperti pada Bank ‘uang’ umumnya dan pengepul untuk tempat penyetoran barang-barang yang sudah terkumpul. ”Memang kegiatan Bank Sampah seharusnya memiliki administrasi seperti itu, tapi saat ini hanya asal tunjuk saja soal kepengurusan karena memang ini merupakan tahun pertama mendirikan sehingga butuh penyempurnaan,” jelas Mamiek Suladri yang menjadi Bendahara Bank Sampah itu.
Awalnya hanya 60 anggota alias nasabah dari tiga RT yang ikut. Tapi sekarang sudah mencapai 135 anggota/nasabah dari tujuh RT di permukiman tersebut.
Saat ini pun manfaatnya benar-benar dirasakan Ibu-ibu Kreatif ini dan masayarakat komplek pada umumnya. Omzetnya, bila dulu Rp 4 jutaan sekarang mencapai Rp 16 jutaan per tahunnya.
”Awalnya sulit untuk mengembangkan usaha ini karena dirasa kurang baik, karena beranggapan kok milih ‘Bank Sampah’. Tetapi hal inilah yang memicu kami untuk terus mensosialisasikan dan hasilnya sekarang dapat dinikmati semuanya,” tambah Mamiek Suladri yang hobi membaca ini.
Meski barang-barang yang ditransaksikan adalah barang-barang limbah, tetapi harus ada pemilahan dari limbah tersebut. Seperti sampah kering, golongan botol bekas, kertas ataupun buku. Sementara daun-daun kering dikumpulkan untuk dijadikan kompos.
“Harapan minimal di setiap rumah sudah menjadi kebiasaan untuk memisahkan sampah golongan kering dan basah. Nah kalau mau bergabung, ini juga bisa menambah nilai ekonomis,”katanya.
Simpan-Pinjam Juga
Bahkan untuk memberi manfaat ekonomi lebih, di ‘Bank Sampah’ ini juga diadakan simpan pinjam bagi anggota nasabah. Peminjaman sekitar Rp 500 ribuan dengan setoran 5 kali saja.”Simpan pinjam ini memang mempermudah jika para anggota memutuhkan dana segar, memang pinjaman kita batasi dulu,. Juga ditekankan pinjaman ini harus sesuai dengan syarat yang sudah ditentukan Bank Sampah ini,” terang Damayanti ibu dua anak ini.
Ibu-ibu Kreatif ini mengaku sudah bisa mereguk hasilnya. Bahkan dari sepuluh ‘Bank Sampah’ yang tersebar di Surabaya Timur, Surabaya Pusat, dan Surabaya Selatan, Bank Sampah Komplek Lembah Harapan dipilih sebagai yang paling baik administrasinya. m11
Komentar
Damayanti Heru (Sekretaris Bank Sampah)
”Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kita semua, karena bisa membersihkan kota, juga menjalin silaturahmi antar tetangga dari berbagai kalangan,”
Mamiek Suladri (Bendahara Bank Sampah)
”Kegiatan ini memang sangat positif, kita bisa mengajarkan tentang nilai kebersihan pada anak-anak ataupun muda-mudi yang ada di sekitar perumahan. Kita juga turut peduli pada lingkungan,”
Sulistutik (Fasilitator Lingkungan)
”Dengan kegiatan seperti ini kita turut andil besar dalam penyelamatan lingkungan. Sehingga kita bisa menikmati manfaat lingkungan yang bersih, nyaman, sehat dan asri.”
Cara Baru ‘Menabung’ Barang Bekas
Bank adalah sebuah instalasi yang bergerak dibidang penyimpanan, terutama yang berhubungan dengan uang. Namun, belakangan ternyata Bank yang biasanya berhubungan dengan uang itu sudah berubah bentuk menjadi hal lain yaitu untuk penyimpanan sampah.
Ya, Bank Sampah adalah salah satu program lingkungan hidup yang mengorganisasikan-menerima, mengolah hingga menjual-- sampah masyarakat sekitar. Ujung-ujungnya kegiatan ini memang layaknya bank yaitu menghasilkan uang.
Kinerjanya lebih pada sampah di sekitar masyarakat dipilah-pilah, lantas ditimbang. Dari hasil timbangan tersebut, pihak bank baru menentukan berapa uang yang bisa diberikan. Kinerjanya mirip dengan bank umumnya. Masyarakat dibuatkan buku tabungan, uang tidak langsung diberikan pada si penabung, tapi lebih dulu dimasukkan ke dalam tabungan . Jumlahnya pun tidak langsung besar, dari mulai rupiah yang kecil-kecil dulu.
Bank sampah ini fungsinya bukan melulu menumpuk sampah dan menjualnya ke pengepul. Namun bank ini menyalurkan sampah yang didapat sesuai dengan kebutuhan. Misal, sampah basah hasil rumah tangga yang terdiri dari sayuran , dikumpulkan untuk dijadikan pupuk kompos.
Sampah kering berupa botol , kaleng, dan kertas dipisah lagi. biasanya sampah kering ini dijadikan barang daur ulang berupa kerajian tangan. Misal, vas bunga dari kaleng bekas, tas dari rajutan sedotan atau pipet yang dianyam dengan benang dan jarum, bungkus rokok dibentuk asbak, dan masih banyak lagi.
Ide untuk menamakan bank sampah membuat image tentang pengumpulan barang bekas menjadi berbeda. Dengan begitu perspektif juga berbeda, malah lebih terkesan keren. Harus diingat juga, perbedaan tersebut juga ternyata berpengaruh besar terhadap ekonomi . Bank sampah justru bisa mendatangkan uang dari barang bekas bernama sampah, ditambah lagi memberikan tambahan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Nah, siapa tertarik mengikuti jejaknya!ins.
surabayapost
Here ]
Get this widget [
No comments:
Post a Comment